![]() |
Warga dusun Air Matan sedang menunjukan Magar yang barus selesai digali dan hendak diproses untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan pengganti nasi.Foto : Ebed de Rosary |
(Bagian Kedua)
SIKKA – Ubi hutan beracun atau Magar dalam bahsa Tana Ai yang dikonsumsi untuk menghindari kelaparan sat rawan pangan melanda merupakan pangan lokal alternatif yang bukan saja dikonsumsi masyarakat Tana Ai tapi juga sebagian masyarakat kabupaten Sikka Flores Timur,Nagekeo dan lainnya di pulau Flores bahkan wilayah lainnya di NTT.
Peneliti gizi dari Politekes Mamuju, Sulawesi Barat, Nurbaya menjelaskan, dibanding beras atau singkong, nilai gizi ubi hutan sebenarnya lebih rendah tetapi kandungan serat dan kalsium tinggi. Total energi sikapa 100 Kal, karbohidrat 23,5 gr, protein 0.9 gr dan lemak 0,3 gr.
Kandungan energi memang sedikit, lebih rendah dibandingkan singkong. Namun kandungan serat jauh lebih tinggi 2,1 gr, dibandingkan singkong hanya 0,9 dan beras 0,2. Kandungan serat tinggi inilah yang memperlambat penyerapan gula dalam darah. Sangat baik untuk penderita diabetes mellitus.
Sikapa bahasa Sulwesi atau Magar bahasa Tana Ai juga mengandung kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg. Kalsium ini untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan dan pangan lokal ini seharusnya dilestarikan,tak hanya karena kandungan gizi baik juga salah satu diversifikasi pangan.
“Pandangan masyarakat sebaiknya mulai diubah, sumber karbohidrat makanan pokok tidak mesti beras. Masyarakat dapat memanfaatkan pangan lokal lain yang kaya karbohidrat seperti ubi hutan,namun menjadi kendala besar mempromosikannya sebagai sumber pangan karena beracun sebab engolahan harus berhati-hati dan perlu waktu lama,” tegasnya. (Lihat : http://www.mongabay.co.id/2015/05/09/ubi-hutan-ini-beracun-tetapi-banyak-manfaat/ )
![]() |
Magar yuang sudah diiris dan dikeringkan dan diletakan di dalam Kata (anyaman dari daun kelapa) sebelum direndam di kali ataukah di laut sebelum dimasak dan dikonsumsi.Foto : Ebed de Rosary |
Rendam di Air Mengalir
Romana Kaha warga dusun Api Matan desa Natarmage kecamatan Waiblama yang ditemui Mongabay Indonesia Kamis (12/10) di rumahnya menjelaskan,setelah digali Magar dikupas kulitnya dan diiris menggunakan sebuah alat yang biasa dinamakan Blewang,sebuah alat pengiris menggunakan pisau yang dipasang di kayu guna mengiris Magar agar ketebalannya sama.
Usai diiris di kebun,Magar dimasukan ke dalam Kata (semacam karung yang dianyam dari daun kelapa) lalu dibawah ke rumah dan diletakan di Tedang (bale-bale bambu) dan dijemur di bawah terik matahari selama minmal 3 hari lalu direndam di air kali selama sehari.
“Satu jam sekali, Kata berisi Magar diangkat sambil digoyang-goyang berkali-kali agar airnya tiris lalu Magar tersebut di balik dan direndam kembali dari sore hingga keesokan harinya lalu dibawa pulang untuk dimasak.Kalau direndam di air laut cuma butuh waktu 3 jam saja,” sebut Romana.
Mengolah Magar untuk dikonsumsi lanjut Romana dilakukan dengan cara dibakar di dalam bambu (Tu’i) atau dikukus dan setelah matang dicampur dengan parutan kelapa dan dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak dan ada yang disimpan di dalam lumbung atau dapur,tidak boleh ditaruh di dalam rumah.
“Saat dijemur tidak boleh terkena air hujan sebab Magar akan berwana hitam dan tidak bisa dikonsumsi karena rasanya pahit dan mengandung racun.Ini yang membuat di dusun kami hanya tiga keluarga saja yang mengolahnya sementara semuanya ikut mengkonsumsinya,” tuturnya.
Romana berkisah,makan Magar baru dilakukan lagi oleh warga Waiblama termasuk di desa Natarmage sebab bahan pangan seperti padi dan jagung mulai menipis dan kebiasaan makan Magar terakhir dilakukan sekitar 5 dan 10 tahun lalu dan sebelumnya terjadi saat jaman perang kemerdekaan serta kekeringan tahun 1979 dan bencana gempa bumi dan tsunami tahun 1992.
![]() |
Romana Kaha (kanan) menunjukan tumpukan Magar yang sudah dikeringkan dan akan direndam di air kali sebelum dimasak dan dikonsumsi bersama sebagai pengganti nasi.Foto : Ebed de Rosary |
Gagal Panen
Gabriel Manek Soge,Tana Puan (ketua adat atau kepala suku) suku Soge kepada Mongabay Indonesia mengatakan,hasil panen padi dan jagung setiap tahun selalu mengalami penurunan dimana musim panen tahun 2017 lalu dirinya hanya mendapatkan 50 kilogram padi ladang (sekarung) dan jagung saja dari sebelumnya sebanyak 5 karung dan 3 karung.
Gabriel jelaskan,tanaman padi dan jagung ditanam di lahan kebun seluas 3 hekatr yang terbagi atas 2 bidang tanah yang didalamnya juga telah tumbuh tanaman kakao,kemiri,kelapa dan mente yang sudah berbuah.
“Kalau dulu sebelum kami tanam mente dan lainnya kami hanya tanam padi dan jagung saja hasilnya sangat melimpah bahkan tidak habis dikonsumsi hingga masa panen tahun berikutnya,”ungkapnya.
Bila tidak terjadi rawan pangan jelas Gabriel.Magar yang tumbuh di dalam kebun akan dicabut dan dibuang karena akan menggangu tanaman padi dan jagung sebab sangat cepat berkembang biak.Warga tidak mengkonsumsinya sebab masih banyak bahan pangan di lumbung (Orin Nalu atau tempat menaruh padi dan jagung).
Rafael Raga,SP ketua DPRD Sikka yeng berpendidikan sarjana pertanian dan sebelumnya bergerak di LSM pertanian dan mendampingi masyarakat Waibla menyebutkan,dulunya masyarakat Tana Air termasuk daerah Waiblama merupakan lumbung padi dan jagung dan hasil panen selalu melimpah.
Hasil panen lanjut putra Tana Ai ini,mulai berkurang saat masyarakat mulai menanam tanaman perkebunan seperti kelapa,kakao dan mente sejak awal tahun 80-an hingga 90-an di dalam lahan kebun yang selama ini khusus ditanami padi ladang dan jagung.
“Dengan pola penanaman seperti ini maka otomatis padi dan jagung tidak menghasilkan apalgi mente yang terkenal sebagai tanaman yang bisa mematikan tanaman lainnya akibat rakus mengkonsumsi unsure makanan,” tuturnya.
Pola tanam seperti ini kata Rafael dirasakan saat ini dimana ketika tanaman perkebunan seperti mente,kakao dan kemiri hasilnya tidak produktif akibat kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan maka warga tidak memiliki cadangan bahan pangan dan memilih alternatif mengkonsumsi Magar sebab hasil perkebunan yang selama ini dipanen dan dijual untuk membeli beras menurun drastis.
“Ketika gagal panen akibat kekeringan panjang maka masyarakat tidak memiliki cadangan pangan lain selain padi dan jagung dan memilih mengkonsumsi Magar yang memang selama ini juga selalu dikonsumsi orang Tana Ai,” pungkasnya. (Selesai)