Quantcast
Channel: EBED DE ROSARY
Viewing all articles
Browse latest Browse all 339

Gren Mahe, Ritual Ucapan Syukur Suku Tana Ai Boganatar

$
0
0


Tetua Adat sedang melaksanakan ritual adat Tupi Tawa untuk memanggil keris yang keluar dari dalam tanah. Foto : Ebed de Rosary

SIKKA –
Bagi etnis Tana Ai salah satu etnis dari 5 etnis di kabupaten Sikka Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, mengucap syukur harus dilakukan sebab segala berkat dan rejeki yang diperoleh berkat campur tangan dan restu sang pencipta langit dan bumi serta para leluhur.

Gren Mahe atau Glen Mahe bagi etnis Tana Ai yang mendiami wilayah timur kabupaten Sikka,merupakan sebuah pesta akbar sehingga setiap keturunan dan anak suku baik yang mendiami kampung Boganatar desa Hikong kecamatan Talibura maupun yang berdomisli di luar desa bahkan di tanah rantau juga hadir.

Sejatinya Glen Mahe di Boganatar berlangsung sejak tanggal 20 November 2017 namun keramaian terasa di dua hari terakhir, Kamis (23/11/2017) dan Jumat (24/11/2017) dimana ratusan warga mendatangi tempat ritual adat, Mahe, yang berada di sebuah bukit di tengah hutan rimbun berjarak sekitar 400 meter dari pemukiman.

Saat ditemui Kamis (23/11/2017) saat ritual Glen Mahe, Yohanes Yan Lewar yang berperan sebagai Marang atau panglima perang adat suku Tana Ai Boganatar mengatakan,Glen Mahe yang dilaksanakan tahun ini digelar 5 tahun sekali.

Glen Mahe sebut Yan sapaannya, dilaksanakan setiap 5,7 atau 9 tahun sekali tergantung hasil pertemuan yang digelar Tana Puan atau kepala suku bersama Marang serta ketiga pemimpin suku Wulo, Ketang Kaliraga dan Lewar Lau Wolo. Hasil perundingan tersebut lalu disampaikan kepada warga atau anak suku dan bila disetujui maka Glen Mahe akan dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disepakati.

“Glen Mahe selalu kami laksanakan sejak Mahe, tempat pemujaan atau pusat ritual adat didirikan sejak tahun 1.800 untuk mensyukuri apa yang diperoleh selama kurun waktu tersebut dengan memberikan kurban kepada Nian Tana dan leluhur yang sudah meninggal termasuk kepada leluhur yang memperjuangkan berdirinya Mahe yang diperoleh dari kemenangan saat berperang dengan suku lain,” ungkapnya.

Saat di Mahe,para kepala suku dan Marang melantunkan doa, mensyukuri dan meminta kepada Ina Nian Tana, Ama Lero Wulan,Ian Bangu Adang Hewang, Blupur Gete Ata Maten,Nitun Pitu Nuan Walu. Berdoa meminta kepada langit dan bumi, Allah bersama Adam dan Hawa,manusia pertama yang diciptakan,kepada para leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal.

Marang dan kepala suku sedang mempersiapkan ritual adat Tudi Laba.Foto : Ebed de Rosary

Meletarikan Alam

Setelah perencanaan disepakati,Glen Mahe diawali dengan ritual Tabi Lalan artinya membersihkan lokasi Wua Mahe pusat digelarnya ritual adat dengan membuat pondok dari Ilalang dan bambu yang diambil di sekutar Mahe serta mengatapi rumah adat (Woga) dengan daun Lontar.Ritual ini dinamakan Laba Lepo Soron Woga.

Ritual berikutnya jelas Yan yaitu Roa Waning, membawa gong dan gendang ke Wua Mahe, terus  dilanjutkan dengan Sapi Rawin Dolo Wohon atau membersihkan gendang sertaTage Waning Taba Gedang dimana saat ritual disembelih seekor ayam.Ritual berlanjut dnegan Takun Botik atau Guna, memberi makan sang pemberi kekuatan dengan seekor hewan (babi) berukuran kecil.

“Sesudah itu kami lakukan ritual di kebun yang dinamakan Supi Tawa, memanggil keris yang dulunya keluar dari dalam tanah di hutan yang rimbun yang berjarak tidak jauh dari kampung,” terang Yan.

Yosef Tote salah seorang tetua adat kepada Mongabay Indonesia menjelaskan,keris tersebut berbentuk belah ketupat tanpa gagang dimana saat membuka kebun nenek moyang suku Lewar menemukan sebuah pisau yang keluar dari dalam tanah. Namun karena kaget dirinya berteriak sehingga gagang keris masuk ke dalam tanah kembali dan hanya keris yang menyembul ke permukaan.

Keris ini terang Yosef, disimbolkan sebagai benda yang panas sehingga dilarang untuk dipegang karena siapapun yang memegangnya akan mudah emosi dan marah sehingga keris tersebut pun tidak boleh diletakan di dalam rumah atau kampung tetapi di hutan.

Etnis Tana Ai di Boganatar sebutnya,sebagian besar merupakan petani dan hadirnya keris tersebut menyimbolkan agar bumi dan langit serta alam harus dijaga, tidak boleh dirusaki sehingga orang Tana Ai sangat menjaga kelestarian hutan dan ekosistemnya.Apalagi keris tersebut harus tersimpan di dalam tanah di hutan tempat awal ditemukan.

“Kami percaya bahwa alam dan lingkungan yang diciptakan dan diwariskan secara turun temurun dari leluhur kami harus dijaga kelestariannya agar bisa diwariskan kepada anak cucu dan bisa memberikan kehidupan.Hutan dan mata air adalah simbol kehidupan yang harus dijaga,” ungkapnya.

Meski berada tak jauh dari jalan raya, tempat keris disimpan merupakan sebuah hutan yang ditumbuhi pepohonan besar dimana terdapat banyak pepohonan bambu meski di sekitarnya telah dutanami dengan kakao,kemiri dan kelapa oleh pemiliknya.

Para lelaki dan perempuan menari Togo bersama sambil mengelilingi Kanga dengan diiringi syair yang dibawakan Moan Marang.Foto : Ebed de Rosary

Mohon Kebijaksanaan

Setelah diadakan ritual Wulu Kola, memberi makan anak panah dilaksanakan ritual Tudi Laba, Rage Pute Rean Laba.dalam ritual ini,semua perlatan yang digunakan untuk meletakan persembahan seperti piring dan gelas dibuat dari bambu sementara tempat meletakan padi dianyam dari daun Lontar.

Menurut Yan selaku Marang, Tudi Laba merupakan sebuah ritual permohonan yang dilantunkan agar semua anak suku semakin bijak,pandai, rajin dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan bagi sesama dan alam semesta.Orang yang memiliki ujud tertentu seperti berhasil dalam pekerjaan dan pendidikan serta mohon kesembuhan juga bisa membawa ayam atau telur.

“Ayam disayat lidahnya dan diambil darahnya lalu diperciki di makanan dan minuman yang akan dipersembahkan serta telur ayam pun sama, hanya diambil sedikit putih telurnya untuk diperciki,” tuturnya.

Setelah itu lanjut Yan,seekor kambing disemebelih di depan rumah tempat ritual dan diambil limpah kambing dimana saat dilihat ternyata darah masih menetes dan limpahnya panas sehingga diprediksi cuaca panas masih terjadi.Semua anak suku diminta agar saat proses penanaman pun harus diperhatikan dengan curah hujan serta melakukan perawatan tanaman dengan baik.

“Tapi secara keseluruhan panen tahun depan tidak akan terpengaruh dimana hasilnya pun lumayan bagus hanya perlu memperhatikan dengan curah hujan dan juga tanaman harus dirawat dengan baik jangan ditelantarkan,” pesannya.

Sebelum ritual beber Yan, dilakukan Piong atau Takun Botik memberi makan dan minum, persembahan kepada leluhur, Wuha Mahe, Guna Dewa, Ina Nian Tana dan Ama Lero Wulan Allah Pencipta Langit dan Bumi yang diletakan di beberapa sudut halaman rumah di dalam wadah tempurung kelapa.

Saat jarum jam menunjukan pukul 16.00 WITA,semua hewan kurban dan persembahanan dibawa ke Mahe sebuah hutan rimbun di perbukitan dengan berjalan kaki menyusuri hutan.Ritual ini dinamakan Tete Widin Tana, Wara Wawi Wajong Reta Wua Mair Ritin Ler.

Tiba di Mahe, dilaksanakan ritual Wurung Milo yakni menyembelih seekor babi untuk pendinginan pondok dan rumah adat yang dilanjutkan besok pagi dengan menyembelih seekor kambing guna meminta terang agar proses ritual adat bisa berjalan baik, lancar hingga selesai.

Para kepala suku dan kaum perempuan berpose di depan Kanga yang merupakan mezbah atau altar tempat pemujaan. Foto : Ebed de Rosary

Ucap Sukur dan Berbagi Rejeki

Jrum jam menunjukan pukul 10.00 WITA, Jumat (24/11/20170 ratusan warga suku mulai mendatangi Mahe, pusat digelarnya ritual. Meski hujan mengguyur dan jalan tanah becek, tidak menyurutkan niat warga menyaksikan puncak ritual yang akan ditutup dengan penyembelihan hewan kurnam berupa kambing dan babi.

Marang dan segenap kepala suku berdiri di pintu masuk melakukan pnyambutan tamudari luar Boganatar dengan memberikan berkat di dahi dan menuguhkan sirih pinang dan Arak kepada para tamu.

“Ritual Kahe Orong ini merupakan sapaan penerimaan kepada tamu undangan.Sebuah bentuk penghormatan, penghargaan kepada para tamu yang hadir untuk menyaksikan ritual adat,” papar Yosef.

Setelah melantunkan doa dan menari Togo bersama di depan Kanga, mezbah atau altar persembahan hewan kurban beber Yosef, satu per satu disembelih dimana nantinya daging kurban tersebut dibagikan kepada segenap tamu dan warga suku yang hadir dalam ritual tersebut.

Rafael Raga, ketua DPRD Sikka yang juga putra asli desa Kringa, Tana Ai dalam sambutannya meminta agar ritual adat Glen Mahe tetap dijaga dan dilestarikan agar warisan adat budaya para leluhur bisa terus ada.

Rafael juga mengatakan,Mahe yang berada di bukit dikelilingi hutan dengan pepohonan yang rimbun merupakan pesan bahwa orang Tana Ai selalu menjaga kelestarian lingkungan.Untuk itu dirinya berharap agar pesan leluhur ini terus dilesatrian dengan menjaga hutan dan mata air serta tidak melakukan perambahan hutan dan pembakaran.

“Salah satu pesan dengan diadakannya ritual adat di Mahe ini yakni kita harus menjaga kelestarian hutan dan alam kita. Mahe selalu berada di daerah yang sejuk, rimbun dengan pepohonan dan ini mencerminkan rasa cinta orang Tana Ai kepada bumi dan langit ciptaan Ina Nian Tana, Ama Lero Wulan,” pungkasnya.

Glen Mahe lanjut Rafael bermakna sebagi ucapan syukur atas segala keberhasilan termasuk hasil panen yang diperoleh selama kurun waktu tersebut dan meminta berkat serta restu atas keberhasilan dan rejeki berupa hasil panen yang cukup.Untuk itu,bersahabat dengan alam menjadi keharusan agar alam pun bersahabat dengan kita seperti yang dipraktekan para leluhur yang selalu dekat dengan alam.


Para perempuan suku Lewar sedang menarikan tarian Togo sebagai bentuk penghormatan dan ucapan syukur kepada pencipta langit dan bumi serta para leluhur saat berada di Mahe


Viewing all articles
Browse latest Browse all 339

Latest Images

Trending Articles