Menelisik Kehidupan Masyarakat Desa Gera
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan
Bagi masyarakat desa Gera, janji muluk calon bupati dan para wakil rakyat menjadi hal biasa. Sebelum pemilu “ penebar janji ‘ ini berlomba – lomba mendatangi desa mereka. Tantangan dan rintangan mereka lewati hanya demi membius rakyat. Setelah duduk di kursi empuk, keinginan mendatangi desa Gera sekedar mengucapkan terima kasih saja tidak dilakukan. Berharap banyak mereka akan merealisasikan janji membangun jalan ibarat menanti durian runtuh.

Melimpahnya hasil komoditi menyisakan keprihatinan disatu sisi. Jarak dari ujung desa di kampung Wolo One yang masuk dusun III desa Gera menuju pasar Lekebai ± 13 kilometer. Dari jalan sepanjang itu, hanya tersisa ± 6 kilometer yang sudah diaspal sementara sisanya ± 7 kilometer masih merupakan jalan tanah bebatuan yang berlubang sana – sini.
Ongkos Ojek Mahal
Naiknya harga bahan bakar minyak membuat tarif ojek sepeda motor yang merupakan satu – satunya alat transportasi rutin ke desa mereka melambung tinggi. Dari Wolo One ke Lekebai untuk satu orang penumpang di tambah barang satu karung, biaya yang dikeluarkan sebesar 40 hingga 50 ribu rupiah. Ongkos bertambah jika barang bawaan menjadi dua karung.
Keluhan ini disampaikan beberapa warga desa Gera kepada FBC yang menyambangi desa ini, Minggu ( 30/11/14 ). Bernadus Paro ( 62 ) seorang petani warga dusun Wolokepo mengatakan, jika musim panen kemiri dan kakao petani sulit menjualnya ke pasar Lekebai atau ke Maumere. Mahalnya biaya transportasi membuat para petani terpaksa menjual hasil komoditi ke pengepul di desa mereka atau ke pembeli hasil yang datang ke desa mereka.
“ Kalau kami jual ke maumere tentu harganya lebih mahal. Tapi jika dihitung dengan biaya ojek dari kampung ke perempatan jalan utama dan naik angkot ke Mauamere, kami hanya dapat untung sedikit. Kami terpaksa jual ke pembeli yang datang di kampung jika ada atau ke pengepul di desa dengan harga lebih murah 3 ribu sampai 5 ribu untuk satu kilogramnya ‘ sebutnya.
Dikatakan Bernadus, dari pada capek dan menghabiskan waktu, petani desa Gera biasa menjual hasil komoditinya ke pasar Lekebai setiap hari Sabtu. Uang hasil penjualan komoditi urainya, sekalian dipakai untuk berbelanja kebutuhan hidup yang diperjual belikan di pasar ini.
Bernadus mencontohkan, sejak adanya kenaikan harga bensin di awal November 2014, biaya ojek dari kampungya ke pertigaan Lekebai yang berjarak ± 3 kilometer harus mengeluarkan biaya 20 samai 25 ribu rupiah. Kalau penumpang membawa barang satu karung akan dikenakan tambahan biaya sebesar 10 sampai 15 ribu rupiah.
Hal senada disampaikan Lukas Lura, seorang perangkat desa Gera yang ditemui FBC di saat bersamaan.Dari dusunnya di Wolo One, masyarakat terpaksa menumpang ojek sepeda motor itupun dengan tarif yang tidak pasti. Kesepakatan biaya tergantung tawar menawar antara penumpang dan pengojek.
“ Ongkos ojek tergantung barang yang dibawa. Kalau musim hujan jalan jadi licin jadi kalau tidak hati – hati bisa celaka. Biasanya kami jual hasil pertanian dan perkebunan setiap Sabtu di pasar Lekebai. Jalan yang rusak dan belum diasapal atau di semen membuat angkutan tidak mau masuk ke desa kami “ tuturnya.
Mahalnya biaya transportasi membuat petani kadang malas memungut kemiri dan menjualnya ke pasar Lekebai. Banyak hasil sayuran dan kebun sebut Lukas yang tidak bisa dijual dan dibiarkan saja. Kalau membutuhkan banyak uang, masyarakat baru mengumpulkannya dan menjual ke pasar Lekebai.
Sering Kecelakaan
![]() |
Rumah waga kampung Wolokepo desa Gera yang berada di lembah |
Dua kali menyambangi desa ini membuat FBC paham betul dengan kondisi jalan di desa tersebut. Satu – satunya akses jalan dari desa Gera sungguh memprihatinkan. Sejak pertigaan jalan negara, jalan aspal mulus selebar 2,5 meter seakan menina bobokan tamu yang baru pertama mendatangi desa Gera. Sekitar 2 kilometer, kondisi jalan sudah mulai berlubang.
Semakin mendekati wilayah desa jalan tanjakan dengan kemiringan 45 derajat membuat jantung berdebar kencang. Hal ini diperparah dengan lubang dan bebatuan yang bertebaran di jalan tanjakan yang juga berkelok.
Hampir setiap pengendara sepeda motor di desa Gera pernah mengalami kecelakaan sebut Dominikus Yos ( 22 ) warga dusun Wolokepoyang menemani FBC berkeliling desa. Diceritakan Yos, jika musim hujan, air yang mengalir dari ketinggian akan melewati badan jalan dan menggerus aspal dan semen yang melapisi permukaan jalan. Selepas musim hujan tambah Yos, yang tersisa hanya bebatuan dan kerikil yang dijadikan bantalan jalan bertebaran.
“ Pemerintah bangun jalan tapi tidak memperhatikan saluran air atau got. Kalau tidak ada got, air tetap akan melewati badan jalan. Jalan dengan konstruksi kuat saja lama – lama rusak, apalagi jaman sekarang banyak jalan yang mutunya jauh dari standar.Paling satu dua tahun dikerjakan sudah rusak lagi “ paparnya.
Saat ditanya apakah dirinya pernah mengalami kecelakaan saat melintasi jalan di desa mereka, dirinya mengakui pernah mengalaminya. Kecelakaan sebut Yos sering terjadi apalagi saat turunan. Kalau bukan karena rem blong, pasti karena jalan licin atau ban sepeda motor tergelincir di batu atau kerikil.
Jika tidak bisa mengendalikan kendaraan urai Yos, pengendara sepeda motor biasa menabrakan motor ke tebing yang berada di sisi kanan. Bila kendaraan tergelincir ke sisi kiri sebutnya, resikonya lebih besar sebab terdapat tebing dan jurang.
“ Ada juga yang jatuh ke tebing tapi masih selamat karena di lereng tebing dipenuhi tanaman kemiri dan kakao.Kalau benasib baik, paling patah kaki atau tangan saja. Tapi kami sudah biasa jadi tidak takut. Kalau orang yang baru pertama datang, biasanya saat ingin meninggalkan kampung mereka akan membiarkan sepeda motor mereka dikendarai warga desa sementara mereka berjalan kaki “ ungkapnya. ( Bersambung )
Penulis : Ebed de Rosary Email : ebedallan@gmail.com