Quantcast
Channel: EBED DE ROSARY
Viewing all 339 articles
Browse latest View live

Foto Pertandingan Ende Melawan Manggarai Timur Pada ETMC XXVII


Gol Fransiskus Memperbesar Keunggulan PSKN Atas Kabupaten Kupang

$
0
0

El Tari Memorial Cup XXVII

Gol yang dilesakan Fransiskus S, Nau pada menit 66 babak kedua memperbesar keunggulan PSKN Kefamenanu kabupaten Timor Tengah Utara atas kesebelasan kabupaten Kupang. Gol ini melengkapi gol yang dihasilkan oleh Jecky Pello pemain bernomor punggung 22 saat babak pertama pertandingan penyisihan group di pool 2.

Terciptanya gol di menit ke 19 pada pertandingan yang berlangsung pukul 14.00 wita tersebut membuat para pemain PSKN mulai menguasai pertandingan.Permainan keras yang dilakukan kesebelasan anak asuhan Hilarius Naran berbuag petaka. Beberapa menit usai gol, pelanggaran keras yang dilakukan Nelson Freitas membuat wasit Paulus Beluk terpaksa memberikan kartu merah.

Memanfaatkan keunggulan pemain, para pemain asuhan Baselius Fuel mulai menggencarkan serangan. Namun hingga turun minum kedudukan 1 – 0 masih bertahan, Memasuki babak kedua, kabupaten Kupang mulai melakukan beberpa pergantian pemain. Pertandingan pun mulai berjalan seimbang.Tercatat beberapa kali peluang tercipta oleh dua kesebelasan.

Asyik menyerang mengakibatkan pertahanan kesebelasan kabupaten Kupang rapuh. Umpan cepat dari tengah lapangan dan sentuhan satu dua yang dibangun beberapa pemain depan mencoba membuka pertahanan kesebelasan kabupaten Kupang.Kesebelasan berkostum merah merah ini bermain cepat dan sesekali memperlambat serangan.

Lemahnya pengawasan yang dilakukan para pemain berkostum abu – abu strip biru ini terhadap Fransikus penyerang bernomor punggung 9 berbuah petaka.Mendapatkan umpan lambung, Fransiskus leluasa menggiring bola dan melesakan ke sudut kanan gawang tanpa bisa dibendung penjaga gawang kabupaten Kupang, Offa Aoliso.


Gol ini menyebabkan PSKN TTU bercokol di puncak klasmen pool 2 dengan mengoleksi poin 3 unggul dua angka atas Malaka dan Manggarai yang sama – sama berbagi poin satu saat beratnading hari Rabu ( 21/10/15 ). Meski kalah kabupaten Kupang masih menyisakan dua pertandingan lain di penyisihan group sama dengan 3 kesebelasan lainnya di pool 2. ( ebd )

Penulis : Ebed de Rosary
Wartawan : FBC News ( www.floresbangkit.com ), Media NTT, Ombudsman Indonesia dan koresponden beberapa media Nasioanl dan asing.

Kondisi Lapangan Berdebu Tak Menghalangi PSKK Mengungguli Perseftim

$
0
0

El Tari Memorial Cup XXVII

MAUMERE, MEDIA NTT – Pertandingan partai kedua di lapanagan Gelora Samador Maumere, Jumad ( 23/10/15 ) pukul 16.00 wita mempertemukan dua kesebelasan yang sering menjuarai turnamen ini. Beberapa kali lapangan ditutupi debu dan menghalangi pandangan para pemain.Kedua kesebelasan favorit juara ini mulai bermain cepat dan sedikit keras sejak wasit meniup peluit panjang tanda dimulainya pertandingan.

Tercatat 15 memit babak pertama kedua kesebelasan beberapa kali menciptakan peluang, PSKK kota Kupang tiga kali mendapatkan peluang sementara Perseftim Flores Timur dua kali gagal memanfaatkan peluang.Tendangan para pemain masih melenceng beberapa sentimeter dari sisi kiri dan kanan gawang.Sebuah tendagan pemain Perseftim sempat berada beberapa meter di atas mistar gawang dan mneyebabkan ribuan suportenya menahan nafas.

Asyik menyerang pertahanan Perseftim mulai kendor. Menit ke 22 Zola Frare penyerang bernomor punggung 6 yang mendapat umpan matang di depan gawang melepaskan tendangan mendatar tanpa bisa dibendung kiper Perseftim Arif Rahman. Gol tersebut membuat para suporter Flotim yang memadati tribun terdiam dan berdiri di semua sudut lapangan terdiam.

Lima menit menjelang babak pertama usai, Perseftim mendapatkan peluang usai terjadinya pelanggaran di luar kotak pinalti.Tendangan keras yang dieksekusi Khairul Burhan sempat ditepis kiper namun bola muntah tersebut belum berbuah gol setelah sundulan Fransiskus Sabon pemain dengan nomor punggung 10 melambung jauh  di atas mistar gawang.

Memasuki babak kedua, Perseftim langsung brgerak cepat mengejar keunggulan. Sebuah peluang di menit ke 5 hampir berbuah gol seandainya sundulan dari penyerang Perseftim tidak ditepis kiper PSKK, Eresmus Fahik.Anak asuhan Anton Kia tak mu kalau. Kesbelasan  dengan kostum kuning kuning ini pun mempertotonkan permainan cepat dengan umpan –umpan panjang.

Pergerakan yang dilakukan Zola Frare, Kristoforus Lao serta Heri Gara merepotkan barisan pertahanan Perseftim yang dikomandani Iwan Jabir selaku kaptem team.Dua tendagan bebas di luar kotak penalti hampir berbuah gol dimana satu tendagan masih ditepis kiper dan coba disambar Zola namun dirinya sudah tertangkap offside.

Menjelang babak kedua usai Perseftim kian gencar menggempur pertahanan PSKK. Pemain PSKK yang dikordidinir David Pramano selaku kapten terpaksa menjatuhkan para pemain Perseftim sebelum memasuki kotak penalti.Pelatih kesebelasan berkostum kuning kuning ini pun harus 4 kali berturut – turut melakukan pergantian pemain guna menambah pertahanan.

Permainancepat dan keras disertai tekel menjadikan wasit berulang kali mengeluarkan kartu kuning bagi dua kesebelasan. Tercatat 10 menit jelang pertandingan usai, Perseftim mengurung pertahanan PSKK dan memborbardir dengan tendangan keras. Debu pun berterbangan di areal garis 16 pertahanan PSKK menutupi pandangan penonton dan pemain.

Meski bermain disaksikan bupati Flotim, Yosni Herin bersama isteri serta dibawah komando wakil bupati, Vakens Tukan selaku maneger team, Perseftim harus puas menelan kekalahan pada partai perdana pertandingan mereka di pool 3 yang ditempati juga oleh kesebelasan Lembata dan Alor. Fredi Hormu selaku pelatih yang ditemui usai pertandingan mengecam wsit yang memimpin pertandingan yang tidak tegas dan terlambta meniup peluit setiap kali terjadi pelanggaran.( ebd )


 Penulis : Ebed de Rosary
Wartawan : FBC News ( www.floresbangkit.com ), Media NTT, Ombudsman Indonesia dan koresponden beberapa media Nasioanl dan asing.

Foto Pertandingan Perseftim Melawan PSK KPada ETMC XXVII

Foto Pertandingan PSKN Melawan Kabupaten Kupang Pada ETMC XXVII

Pantai Belang, Nikmati Pantai Berpasir Putih Tanpa Perlu Banyak Uang

$
0
0

Pantai Belang yang terletak sekitar 7 kilometer arah barat kota Maumere merupakan sebuah pantai yang banyak dikunjungi masyarakat kota Maumere yang ingin menikamti suasana pantai berpasir putih,.Meski terletak tidak jauh dari kota Maumere, di sebelah Belang Beach,untuk menikmati suasana pantai dan berenang di laut seraya bersantai di lopo – lopo yang ada, pengunjung tidak banyak merogoh kocek

Meski sederhana, pantai ini bisa dibilang lumayan memberikan pelayanan. Bagi pengunjung yang ingin beristirahat di lopo, maka dikenakan harga sewa 25 ribu dari pagi hingga jam 6 sore. Bila hendak berenang pun, pengunjung bisa menyewakan pelampung ( life jacket ) atau ban dalam mobil ( binen ) seharga 5 ribu rupiah. Bila kehausan, pengunjung bisa membeli kelapa muda yang tersedia seharga 5 ribu rupiah.Kalau mau panjant sendiri juga boleh kok asal bisa panjat.

Terdapat delapan Lopo beratap ilalang dan daun kelapa tanpa sekat. Areal parkir pun luas sehingga pengunjung bisa memarkir kendaraannya dengan aman karena dijaga 3 orang saudara pemilik lahan. Segabis berenang,anda bisa mandi di kamar mandi milik pemilik rumah dengan air sumur yang melimpah.Ada juga disediakan alat untuk memangggang ikan serta kayunya jadi pengunjung hanya membawa ikan mentah atau daging serta jagung muda. Kalau tidak membawa ikan, jangan takut karena pemiliknya Endi Dinong juga menyediakan ikan yang anda bisa bakar sendiri atau tinggal makan saja.

Endi saat ditemui di pantai tersebut, Minggu ( 18/10/15 ) mengatakan, kalau hari Sabtu atau Minggu serta hari libur banyak pengunjung yang datang. Biasanya banyak dari organisasi atau kelompok yang datang menggelar acara tamasya disini. Hari ini ada anak – anak Sekami, sekolah minggu yang datang dalam rombongan besar.

Pantainya pun berpasir putih dandasar laut tanpa bebatuan, Terdapat beberapa bakau yang tumbuh di dalam laut dimana beberapa bakau yang berusia tua sudah mati dan anak – anak biasa menaikinya dan terjun ke laut. Areal sekitar pantai dan lopo dipenuhi pohon = pohon besar seperi Ketapang, Waru, Mangga dan jajaran kelapa yang membuat pengunjung tidak kepanansan.

Bagi para pengunjung yang ingin kesana bisa memesan dahulu tempat atau ikan dan jangung bakar sebelumnya agar disiapkan sesuai keinginan. Bagi yang hoby musik, tak usah takut karena ad juga sound system yang diletakan di pondok dekat pantai dan anda bisa memesan lagu sesuai keinginan.

Juan Dinong Beach
Endi Dinong

HP : 082236750505
















Memenuhi Hasrat Mencumbui Pulau Pasir Putih Meko

$
0
0
 Pulau Pasir Putih Meko yang tertutup air saat laut sedang pasang. ( Foto : Ebed de Rosary ) 
Bagian Pertama dari TigaTulisan

Pulau pasir putih Meko akrab di telinga wisatawan mancanegara.Hampir saban minggu ada saja penikmat wisata asing tersebut mampir sekedar berfoto, menyelam, bermalam bahkan melakukan sesi foto pre wedding di pulau mungil ini. Apa sich yang membuat wisatawan rela menempuh perjalanan jauh untuk bercumbu dengan pulau ini?

Pagi saat mentari masih tertidur, 28 anak muda penikmat wisata lokal yang terdiri dari berbagai profesi dan menetap di Larantuka ( Flores Timur ), Maumere kabupaten Sikka dan beberapa asal kabupaten Ende bersiap di pelabuhan laut Larantuka. Meski rasa kantuk masih menyerang, dengan ransel di bahu satu persatu mulai mendatangi titik start trip menuju pulau pasir putih Meko.

Pelabuhan pendaratan ikan ( PPI ) Amagarapati, menjelang pukul 04.30 wita sudah didatangi sebagain peserta trip. Penulis bersama sahabat Simon Lamakadu merupakan orang pertama yang menginjakan kaki di dermaga ini. Tak lama berselang, sekitar pukul 04.20 wita tiba dokter Risma Yuanita bersama suami tercinta. Beberapa menit kemudian teman Paksi dari Pertamina Larantuka merapat disusul rombongan Moffers ( komunitas fotografer dari Maumere ) datang dengan dua mobil pribadi.

“ Tempat pemberangkatan dipindah ke Pelabuhan Larantuka “ ujar Simon usai menerima telepon dari Jody Felik seorang rekan panitia.

Kendaraan pun berbalik arah dipacu ke arah timur yang berjarak beberapa ratus meter dari tempat semula. Mama – mama pedagang eceran yang menempati ruang tunggu pelabuhan Larantuka pun terbangun saat rombongan tiba. Beberapa anggota rombongan terlihat menyempatkan diri membeli makanan dan minuman, bekal selama perjalanan.

Bus Laut

Sebuah mobil pick up terparkir di ujung dermaga lama Larantuka persis di samping kapal motor Purin Lewo. Konsumsi dan perlengkapan yang ada di mobil segera dipindahkan ke kapal. Tak lupa kompor minyak tanah dan galon air minum ikut dibawa. Ternyata kompor ini sangat berguna memuasakan hasrat meneguk kopi dan teh saat subuh di atas kapal yang membelah ombak subuh di tengah dinginnya cuaca dan angin laut.

“ Selamat datang di Larantuka. Ini namanya bus laut, kapal penumpang antar pulau yang kerap digunakan di Flores Timur dan Lembata “ ujar Ansis Uba Ama sedikit berpromosi menyambut kedatangan peserta.

Ini kapal penumpang yang biasa berlayar ke Solor saban hari sebut Ansis saat ditanyai penulis. Jika dilihat kapal dua lantai yang dipenuhi tempat duduk ini memang mirip bus di darat. Kursi tempat duduk penumpang dibuat memanjang dan bisa menampung 4 penumpang satu deretnya. Terdapat sekitar 10 deretan bangku baik di kiri maupun kanannya. Bagian tengah disisakan space yang cukup lega untuk jalan. Samping body kapal terdapat jendela. Bangku kayu dengan sandaran ini agak nyaman dan hampir semua bus laut memiliki bentuk serupa.

Satu per satu peserta menginjakan kakinya di kapal dan bergegas mencari tempat berbaring di lantai dua. Selepas meletakan tas hampir semua peserta mengeluarkan alat charge handphone dan kamera. Semua sibuk memanfaatkan fasilitas listrik di kapal sembari merebahkan badan di bangku kayu yang berderet rapi.

  “ Bagaimana teman – teman, apakah kita bisa berangkat. Kita harus mengejar mentari terbit di pulau Meko dan berpacu dengan arus Watawoko “ tanya Felik kepada semua peserta.

Memotret Lumba - Lumba

Jarum jam menunjukan pukul 05.15 wita. Usai mengabsen peserta kapal pun bertolak meninggalkan dermaga Larantuka. Saat ditanyai penulis, Felik mengatakan semua peserta Fam Trip One Day Around Adonara Island lengkap, hanya dua teman panitia yang belum tiba dan kemungkinan besar tertidur sebab semalam menyiapkan semua perlengkapan hingga pukul 2 subuh.Kemungkinan kecapean dan terlambat bangun tambah Felik seraya berkata beberapa hari ini dirinya bersama Ansis Uba Ama, Bedi dan Frank Kico Lamanepa sibuk mempersiapkan rencana perjalanan dan berdiskusi hingga larut malam.

Arus laut Gonsalu masih belum mengalir deras saat kapal melintasi laut antara pulau Adonara dan Flores. Beberapa anggota bergegas keluar dari tempat berbaring mengambil posisi sesuai selera. Ada yang menempati buritan, atap kapal serta bagian belakang kapal.Kamera di tangan diarahkan mencari sisi – sisi obyek yang menarik untuk diabadikan.

Jauh ke arah timur terlihat celah kecil menyempit. Semakin ke ujung, jarak antara pulau Flores dan pulau Adonara bagai menyatu. Tempat yang sering terkenal dengan sebutan Selat Gonsalu ini kerap ditakuti kapal motor yang melintas akibat derasnya arus yang bukan saja mengalir tapi berputra membentuk pusaran – pusaran. Terkadang kapal dibuat berguncang bahkan sedikit berputar akibat terseret arus.

Gunung Ile Mandiri terlihat samar dari kejauhan. Momen indah ini jadi rebutan anggota bak sesi pemotretan baru dibuka.Emphi Lamanepa, Simon Nani, Hexsa Saputra dan lainnya asyik bermain dengan kamera mencari angle dan obyek yang menantang dan menarik.

“ Ayo Emphi tunjukan kebolehanmu “ canda Mariana Tanjung kepada salah satu anggota Moffers, komunitas fotografer asal Maumere.

Kapal pun berbelok melintasi tenangnya laut selepas Tanjo Gemo ( Tanjung Gemuk ) menuju ujung Timur pulau Adonara. Dari kejauhan Sunrise mulai samar – samar terlihat. Semua anggota sibuk menikmati keindahan ini seraya tentunya tak lupa mengabadikannya. Beberapa kapal nelayan terlihat mulai berseliweran mengantar hasil tangkapan saban malam menuju pelabuhan Waiwerang dan ada yang bergegas menuju Larantuka.

Arah utara kapal terlihat beberapa pelampung dan bola – bola apung berbaris lurus dan melingkar. Itu tempat memelihara mutiara terang Jody Felik saat ditanyai beberapa peserta. Biasanya lanjut Felik, perusahaan mutiara memilih daerah di teluk dan lautnya relatif tenang, tidak bergelombang. Selang beberapa  menit selepas kapal melewati budidaya mutiara, dari depan buritan sebelah utara dua buah lumba –lumba berukuran besar berwarna kehitaman melompat hanya beberapa meter dari kapal.
Momen ini tak disia – siakan. Kamera pun dirahkan ke lumba – lumba. Saat sang ikan yang kerap dijuluki “ penolong “ ini melompat ke permukaan laut peserta berteriak kegirangan. Penulis pun tak ketinggalan mengingatkan sang sahabat Simon Lamakadu dan dokter Simon Nani untuk jangan ketinggalan mengabadikannya.

“ Lumba – lumba kerap terlihat di perairan sekitar sini bahkan sering mereka bergerombol berenang mengapit kapal “  tutur Felik penuh semangat.

Mengarungi Watawoko

Dari kejauhan pusaran arus terlihat jelas. Kapal pun semakin mendekat dan saat memasuki pusarannya kapal seakan terdorong mundur beberapa sentimeter. Kapal seolah terasa menabrak sesuatu dan dalam hitungan detik kapal pun bergoyang. Melewati Watawoko merupakan sebuah sensasi tersendiri.Pusaran arus dan gelombang membuat guncangan kapal semakin terasa. Penulis pun terpaksa meninggalkan tempat favorit di lantai satu bagian belakang ke dek depan.

“ Daerah ini disebut Watawoko, arusnya sangat kencang dan berputar seperti angin puting beliung “ terang Ansis Uba Ama penulis buku Republik Facebook

Kapal pun melaju pelan meliuk membelah ombak dan ganasnya arus Watawoko.Tatapan mata tetap tak berkedip memandang deretan pantai di sepanjang setengah perjalanan lagi. Sun rise pun nampak dari kejauhan. Rencana menikmati sun rise di pulau pasir putih Meko pun terlewatkan. Namun tetap saja memberikan kepuasan tersendiri memandangnya dari atas kapal yang berlayar. Sangat indah sun rise nya celetuk Paksi seorang sahabat asal Jawa Tengah yang baru beberapa bulan menetap di Larantuka dan bertugas di Pertamina.

“ Bagus sekali pemandangannya. Saya baru pertama kali menikmati keindahan ini dari atas kapal di tengah laut diapit dua pulau yang berdekatan “ ungkapnya bangga.

Gulungan gelombang memanjang di sisi utara kapal. Ketinggian ombak pun semakin bertambah membuat kapal bak diayun. Para anak buah kapal mnegingatkan peserta yang berada di bagian atap dan asyik memotret untuk berpegangan serta berhati – hati.

Dari atas kapal yang berjarak hanya sekitar 200 meter dari biri pantai, pesisir selatan Adonara hanya terlihat beberapa pasir putih itu pun bentangannya tidak relatif panjang. Beberapa batu terjal kehitaman berderet disepanjang pantai Watotena yang bersisian dengan pantai Ina Bura. Bebetuan cadas ini ada yang menjulang berbentuk seperti  kapal sehingga masyarakat sekitar menamakannya Watotena yang berarti batu kapal.

Ada juga pantai pasir merah ( Pantai Meang ) dan beberapa pantai lainnya dengan beberapa baris pohon kelapa di pesisir pantainya.Dari kejauhan terlihat beberapa pondok dari daun kelapa dibangun di sekitar areal pantai.Menurut Ansis, pantai ini dikelola warga desa sekitar dan kelompok pemuda.Tarif masuknya pun relatif murah berkisar antara 2 ribu hingga 5 ribu rupiah. Kerap saat musim liburan sekolah dan hari minggu atau hari libur lainnya masyarakat sekitar memanfaatkannya untuk berekreasi, jelasnya berpromosi.( Bersambung )

Penulis : Ebed de Rosary                                Email : ebedallan@gmail.com


Meko Mempesona Diapit Nuha Watan Peni dan Gambus

$
0
0

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan

Jarum jam menunjukan pukul sembilan lewat saat dari kejauhan terlihat sebuah daratan di tengah laut yang hanya diselimuti pasir putih.Kapal motor Purin Lewo tetap menyisir ke arah timur melintas di sisi ombak yang menggulung membentuk garis lurus sebelum pecah di bibir pantai dan mengahantam karang.

Beberapa pulau terlihat dari kejauhan mengapit gugusan pasir putih Meko. Gelombang pun semakin besar karena angin mulai bertiup kencang dan kapal mulai mendekati ujung timur pulau Adonara. Sejauh mata memandang hanya lautan lepas yang nampak.

“ Meski ombaknya tinggi namun jarak antar gelombang jauh sehingga tidak terlalu berbahaya “ ucap Faustinus Kolin sang nahkoda kapal.

Satu dua kapal nelayan berbodi fiber yang kerap dipakai nelayan memancing ikan tongkol dan tuna terlihat di kejauhan. Ada yang bertolak dari laut lepas memasuki selat namun ada pula yang hendak mengarungi laut lepas. Kalau yang pergi ucap Petrus Krowin salah seorang anak buah kapal, mereka hendak memancing usai mengambil umpan di perahu bagan.

Gugusan Atol

Ombak dengan ketinggian sekitar semeter terlihat berayun mengombang – ambingkan kapal. Kapal tetap bergoyang ke kiri dan kanan meski daratan terlihat jelas. Rumah pendudk dusun Meko terlihat tak jauh dari bibir pantai. Hanya sedikit pohon kelapa yang ada sebab kata Ansis Uba Ama, penduduknya hampir semua bermata pencaharian sebagai nelayan.

“ Daerah ini kemungkinan merupakan pulau karang atau atol sehingga gulungan ombak terlihat memanjang “ sebut Faustinus saat ditanyai penulis mengenai deretan ombak berbuih putih.

Kapal berlayar  ke arah timur melewati pulau ( Nuha ) Watan Peni dan menyisir masuk ke barat hingga mendekati pulau pasir putih Meko. Kecepatan kapal diperlambat mencari tempat untuk membuang sauh. Saat ditanyai penulis kenapa tidak langsung memotong masuk melewati sisi utara melewati pulau Gambus dan harus memutar jauh, Faustinus sang nahkoda mengatakan, dirinya harus mengambil jalur jalan memutar untuk menghindari karang dan gugusan atol guna mencegah kapal karam.

“ Saya tidak mau mengambil resiko sebab daerah ini jarang saya lewati apalagi kapal kami besar. Jika berlayar dari arah utara waktu tempuhnya bisa lebih cepat dibandingkan saat ini yang melewati jalur selatan pulau Adonara yang baru pertama saya alami “  tuturnya.

Naik Ketinting

Kapal motor diparkir sekitar 100 meter dari pulau pasir putih Meko yang berada di selatan kapal. Banyaknya rumput yang berada di sekitar pulau cantik ini menyebabkan sang nahkoda takut jika baling – baling kapal mengenai rumput di lautan ini. Dari kejauhan sebuah perahu motor kecil bermesin tempel yang kerap dinamakan Ketinting oleh masyarakat lokal, bergerak menuju kapal yang kami tumpangi.Rupanya sahabat Kamilus Tupen Jumad dan Bernard Nara Gere menyambangi kami setelah sebelumnya di telepon.

Tak sabar mengungkapkan kegembiraan, sahabat Jody Felik disusul Empy Lamanepa terjun ke laut dan berenang menggapai pulau mungil cantik ini. Dari atas buritan kapal pasir putih di dasar laut terlihat jelas bersama rumpun rumput hijau melambai yang hanya berjarak beberapa meter di depan kapal. Sahabat Simon Lamakadu pun tak mau kalah.Usai memakai perlengkapan snorkling dirinya langsung melompat dan berenang pelan menikmati alam bawah laut sekitar pulau pasir putih Meko.

Satu persatu peserta menuruni kapal berpindah ke Ketinting. Pengemudi Ketinting merapatkan perahunya di bagian kanan kapal dan satu per satu peserta berjalan menyisir samping kapal. Kaki – kaki peserta menginjak ban mobil yang digantung menggunakan tali di samping body kapal sebelum benar – benar dirasa aman berpijak di Ketinting.

“  Tidak usah takut yang penting jangan goyang badan saja biar perahu tidak oleng. Semua kamera dan handphone harap diamankan biar tidak terkena air laut  “ pesan Bernard Nara Gere kepada peserta yang terlihat takut.

Kerap Menginap

Tak butuh waktu lama, semua peserta menjejakan kaki di pulau impian Meko. Semua berhamburan mencari posisi buat bergaya saat dijepret kamera. Pasir putih Meko saat dipijak hanya menyisahkan sekitar 100 meter saja sebab air laut sudah mulai pasang.Beberapa bagian sudah tertutup air asin dan namun pasir putihnya masih nampak terlihat jelas.Tak ada sebatang pohon pun tumbuh disini.

Air laut baru beranjak naik beberapa meter saja sebab dasar pasir putih masih terlihat jelas. Arus laut sekitar pulau pasir putih juga relatif kencang meski aman untuk berenang, snorkling maupun diving.Hanya ada ikan – ikan kecil di sekitar rumpun rumput yang tumbuh di laut jelas Simon Lamakadu usai snorkling saat ditanyai penulis.

“ Kalau mau dapat dan menikmati seluruh pulau semuanya harus maksimal jam delapan pagi sudah ada di sini “ pesan Kamilus kepada para peserta.

Meski demikian bentangan pasir putih yang tersisa masih luas buat dicumbui. Pengamatan penulis, panjang bentangan pasir putih di pulau Meko sekitar 300 meter dengan lebar sekitar 100 meter.Jika air pasang beber Kamilus pulau Meko hanya tersisa sekitar 20 meter saja.Terlihat gundukan pasir di area pulau yang tetap terlihat lebih tinggi sekitar 50 sentimeter dari yang lainnya.

Keindahan pulau Meko terkenal hingga mancanegara. Beberapa turis asing dengan kapal pesiar pribadi sering merapat kesini bahkan bermalam di pulau ini dengan mendirikan tenda. Bulan Juli dan Agustus menjadi waktu teramai pulau ini dikunjungi wisatawan asing.Hari – hari biasa beber Kamilus, pulau ini hanya disinggahi satu dua wisatawan asing saja.

“ Beberapa hari lalu ada sepasang warga Polandia menginap disini selama tiga hari “ pungkas Kamilus. ( Bersambung )

Penulis : Ebed de Rosary                                Email : ebedallan@gmail.com




Hasil Pertandingan ETMC XXVII Persami Melawan Persewa

$
0
0



Foto Oleh :Oss Rebong

Persami Maumere memenangi laga kedua mereka Sabtu ( 24/10/15 ) saat bersua Sumba Timur. Persami yang pada pertandingan pertama kalah melawan Persedaya, Sumba Barat Daya, saat bertanding di depan suporetrnya sendiri kali ini memberikan permainan terbaik. Dengan didukung ribuan suporternya, Persami akhirnya meenekuk Persewa Waingapu Sumba Timur 2 -0


Manggarai Barat Menang Tipis Melawan Rote Ndao

$
0
0


Foto : Oleh Wall Abulat

Manggarai Barat yang baru bertanding Sabtu ( 24/10/15 ) akhirnya menang tipis melawan kesebelasan Rote Ndao.Pertandingan yang berlansgung pada partai kedua pukul 16.00 wita di Gelora Samador Maumere tersebut unggul berkat gol tendangan bebas dari kapten kesebelasannya.Gol ini membuka peluang Manggarai Barat melaju ke babak selanjutnya andaikan memenangi dua laga berikutnya.

Umar dan Jasanya Yang Terpatri di Sanubari Warga Meko

$
0
0

Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan

Pulau pasir putih Meko dan beberapa gugusan pulau kecil di sekitarnya masuk dalam wilayah desa Pledo kecamatan Witihama kabupaten Flores Timur.Jika menggunakan kapal motor, rute yang dituju ada dua pilihan yakni dari dermaga Larantuka melintasi arus Gonsalu berputar ke Adonara Barat menyisisiri desa Wure, Waiwadan  dan pesisir utara hingga ujung timur pulau Adonara wilayah Sagu dan berbelok ke barat.

Dari utara, kapal melintasi Tanjo Gemo  ( Tanjung Gemuk ) berbelok ke timur menyisiri pesisir selatan hingga ke Waiwerang Adonara Timur membelah arus Watawoko melewati wilayah Witihama hingga bersua Meko.Perjalanan darat relatif lebih lama sebab medan jalannya berbatu dan berlubang disana – sini selepas Witihama.

Ada dua pilihan bila ingin membawa sepeda motor. Pertama dari dermaga Larantuka menyebrang ke pelabuhan Tobilota dan berpacu dengan motor hingga Waiwerang ,Witihama terus ke arah timur hingga desa Pledo di dusun Meko 3. Bisa juga turun di dermaga Waiwerang dan mengendarai sepeda motor ke Witihama hingga ke dusun Meko 3.

Untuk perjalanan darat, wisatawan terpaksa harus menginap di Waiwerang yang ada penginapan sementara di Witihama maupun desa Pledo tak ada penginapan dan harus mengandalkan rumah penduduk yang bisa ditempati semalam.Disarankan bila bertolak dari Waiwerang atau Witihama waktu start dimulai saat subuh sekitar pukul 04.00 wita agar bisa menikmati sunrise dan seluruh pasir putih pulau Meko.

Bayi Dalam Keranjang

Pulau Watan Peni persis berada sekitar 200 meter arah timur pulau pasir putih Meko. Pulau seluas kurang lebih 300 meter persegi ini menurut legenda masyarakat sekitar dahulunya dihuni sendirian oleh seorang bayi hingga dewasa dan meninggal disana. Bernard Nara Gere, warga kecamatan Witihama kepada penulis saat berbincang di pulau Meko menuturkan, jaman dahulu ada seorang anggota keluarga raja Sagu mengambil isteri perempuan dari Ile Ape di pulau Lembata bernama Peni Utan Lolon.

Suatu saat papar Bernard, Peni meminta kiriman atau oleh – oleh dari orang tuanya di Ile Ape. Ketika kiriman yang diletakan di dalam anyaman dari daun lontar tersebut tiba dan dibuka oleh Peni dan suaminya, ternyata di dalamnya berisi seorang bayi.Saat keluarga suaminya disuruh mengantar pulang kiriman tersebut ke orang tua Peni, keranjang tersebut tidak diantar sampai ke Ile Ape namun diletakan di pulau Watan Peni.

“ Bayi tersebut hidup hingga dewasa dan tinggal sendirian di pualu tersebut sampai wafat “ ungkap Bernard.

Hal ini menyebabkan pulau tersebut sebut Bernard dinamai Nuha ( pulau ) Watan Peni.Di pulau tersebut lanjut Bernard, saat ini ditinggali oleh anak dari bapak Umar yang dahulunya sangat disegani oleh warga desa Pledo dan sekitarnya. Bapak Umar yang asli Witihama ini beber Bernard, datang menyebarkan agama Islam dan mengajarkan Pencak Silat bagi warga desa Pledo dan sekitarnya. Dirinya dijuliki orang suci atau sakti serupa dengan wali di pulau Jawa.

“ Dahulunya pulau pasir putih Meko dan wilayah sekitarnya terkenal angker.Sejak ada beliau orang bisa tinggal di dusun Meko dan mengunjungi pulau pasir putih ini. Beliau mampu menetralisir tempat yang awalnya sangat angker “ pungkasnya.

Bapak Umar sambung Bernard oleh warga sekitar dianggap sosok yang sangat luar biasa meski postur tubuhnya tidak terlalu tinggi bak orang kebanyakan di Adonara. Beliau lanjut Bernard, menetap di sebuah pulau di bagian timur pulau Meko yang dinamai sesuai namanya yakni pulau Umar.

“ Beliau wafat saat berumur seratus tahun lebih. Sampai saat ini anak lelakinya yang menetap di pulau Watan Peni “ tuturnya.

Kisah Mama Nogo

Kata Meko dituturkan Bernard berasal dari kata Beko yang dalam bahasa Adonara berarti “ mengambil dari dalam “. Nama ini urai Bernard penuh arti sejarah.Dikisahkan Bernard, dulunya sebelum banyak dihuni penduduk kampung, di pantai Meko terdapat sebuah batu berlubang yang selalu disambangi seorang mama tua asal desa Sandosi bernama Nogo.
Mama Nogo kisah Bernard, sering datang ke lubang batu tersebutguna mengambil ikan yang terperangkap di dalamnya saat air surut. Ikan berjumlah banyak tersebut oleh mama Nogo dibawa ke pasar untuk dibarter dengan jagung titi, singkong dan bahan makanan lainnya.Suatu ketika sambung Beranrd, mama Nogo mendatangi lubang batu tersebut hendak mengambil ikan seperti kebiasaan yang kerap dilakoni selama ini.

Saat tangannya hendak mengeuarkan ikan dari dalam lubang tersebut, tangan mama Nogo tersangkut di lubang batu tersebut dan tidak bisa dikeluarkan. Mendengar teriakan mama Nogo, orang kampung berdatangan dan berusaha menolong namun semua usaha sia – sia dan tangan mama Nogo tetap tak bisa dikeluarkan.Akhirnya penduduk desa pun membiarkan keadaan mama Nogo dan meninggalkannya sendirian di tempat tersebut.

Keesokan paginya saat air laut surut dan disambangi di tempat tersebut,mama Nogo tidak ditemukan meski penduduk kampung sudah mencarinya kemana – mana.Beko tersebut dalam bahasa sastra Adonara jelas Bernard disebut “ Nogo Soron Lima “. Kata Beko bila diucapkan sambungnya dirasakan tidak etis sehingga diplesetkan menjadi Meko dan nama tersebut terbawa hingga kini.

“ Kepercayaan masyarakat kami, bila mengambil atau menikmati sesuatu terus menerus dan tanpa membuat ritual pengucapan syukur maka akan ada petaka “ bebernya.

Ada tiga buah Nuha yang letaknya saling berdekatan di pantai utara pulau Adonara yakni Ke Nuha Watan Peni, Nuha Kroko dan Nuha Gambus. Nuha Watan Peni merupakan Nuha yang paling dekat dengan pulau Adonara sementaraNuha Kroko adalah Nuha yang paling besar dan Nuha Gambus terdiri dari dua gugus daratan yang jika dilihat dari kejauhan tampak berbentuk seperti gambus.Pandangan mata diarahkan ke utara, gungung Ile Boleng terlihat menjulang sementara bagian selatan di kejauhan nampak gunung Ile Ape kekar berdiri seakan tak mau kalah bersaing.

Tidak Berdampak

Tenarnya pantai pasir putih Meko dan gugusan pulau kecildi sekitarnya yang berujung pada membanjirnya wisatawan asing sebut Kamilus Tupen Jumad, tidak memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat desa Pledo khususnya warga dusun Meko. Rata – rata turis asing urai Kamilus membawa kapal pesiar atau datang menggunakan kapal berukuran besar dan menyambangi pulau ini tanpa berkunjung ke daratan.

“ Tiga hari lalu sepsang turis Asutralia memasang tenda dan menginap di pulau ini. Mereka tidak sampai ke darat bahkan kapal pesiar yang membawa rombongan pun hanya mampir di pulau beberapa lama dan berpaling pulang “  sebut Kamilus, tokoh yang kini gencar menghidupkan kembali budaya Gemohing di Adonara.

Penulis pun sempat menemukan beberapa tempat lilin tercecer di pasir pulau ini. Saat ditanyai, Kamilus mengatakan, pulau ini sering didatangi pasangan wisatawan asing yang hendak membuat foto pre wedding. Para turis asing paparnya datang subuh dan berjemu serta berfoto dan langsung melanjutkan perjalanan bilatidak menginap. Ada juga yang snorkling dan diving di sekitar gugusan pulau di sekitar pulau Meko.

Pemerintah pinta Kamilus, jangan menyerahkan pulau ini untuk dikuasai investor tetapi sebaiknya dikelola oleh masyarakat dengan selalu didampingi pemerintah. Wisatawan yang datang urai Kamilus, diarahkan ke darat agar bisa membeli kelapa muda atau barang dagangan lainnya. Dengan demikian sambungnya, masyarakat bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.

“ Jika aset ini dikelola dengan benar, masyarakat bisa merasakan dampaknya dan bisa mendatangkan pemasukan bagi pemerintah daerah “ katanya.

Selang beberapa lama ribuan kelelawar keluar dari pulau panjang di bagian barat.Rekan Kamilus berseloroh, kelelawar juga ingin memberikan ucapan selamat datang.Biasanya kelelawar celotehnya, kerap keluar sarang malam hari tapi kenapa saat ini mereka keluar sarang dan bergerombol di atas langit pulau tersebut. Mungkin saja mereka juga ingin diabadikan dan ini  pertanda baik sambungnya ditimpali tawa kecil rekan Simon Nany.

Asyik memotret ria dan puas mencumbui pulau pasir putih Meko, Jody Felik mengajak semua peserta untuk kembali ke kapal guna bersantap siang.Kembali perjalanan menggunakan perahu Ketinting yang sudah menjadi idola. Ketupat, ikan tongkol dan Serundeng Gurita terasa nikmat dan membuat asa untuk menambah porsi makan.Sekantung Jagung Titi buah tangan dari ama Kamilus dan Bernard pun dilahap usai mencicipi masakan yang diolah keluarga rekan Ansis Uba Ama.

Tak terasa mentari sudah mulai bergeser ke barat.Kapal Purin Lewo menarik sauh dan kembali bertolak menyusuri sepenggal pesisir selatan pulau Adonara, mengitari Sagu berbelok ke timur menyambangi selat Gonsalu untuk kembali ke dermaga Larantuka.Mengingat banyak permintaan peserta, kapal tetap bertolak ke timur hingga mengitari pulau Waibalun dan kembali ke tempat semula mengakiri perjalanan.

Tak dinyana 12 jam lebih waktu yang dihabiskan selama perjalanan. Namun semuanya ini tidak sia – sia sebut abang Hexsa Saputra, Ambo Kerans dan dokter Gerta serta semua peserta. Meski terlihat capek dan diguncang ombak wajah – wajah kuyu itu tetap semangat saat berfoto bersama mengakiri perjumpaan.

“ Sampai jumpa dalam perjalanan berikutnya. Ayo ke Flores Timur “ pesan Jody Felik saat jabat tangan perpisahan. ( Selesai )

Penulis : Ebed de Rosary                                Email : ebedallan@gmail.com





Tuhuk Klewo dan Pesan Kebersamaan Komunitas Adat Demon Pagong

$
0
0
Suku Lein sedang mengangkat daun Gebang yang sudah dianyam untuk menutup bubungan atap saat ritual Tuhuk Klewodi desa Lewokluok. ( Foto : Ebed de Rosary )
Ritual Koke Bale di Lewokluok

Mengganti atap dan bubungan umah adat “ Koke Bale “ merupakan sebuah ritual tahunan yang dilaksanakan komunitas suku Demon Pagong. Semau kaum lelaki dewasa, warga suku ( anak suku ) wajib menghadirinya. Bagaiman prosesi ritual komunitas adat yang tersebar di tiga desa yakni Lewokluok, Blepanawa dan Bama dari 6 desa di kecamatan Demon Pagong ini melakoni ritual ini? Ikuti kilasan perjalanan tahap demi tahap ritualnya.

Suasana pagi itu Selasa ( 09/06/15 ) begitu ramai. Semua lelaki dewasa berkumpul di Koke Bale. Sesuai penyampaian yang dikeluarkan U’o Matan, hari itu dilakukan ritual “ Take Koke “ pergantian atap rumah adat Lewo ( kampung ) yang sudah mulai rusak. Tak berselang lama, suku Lein dari dusun Subanriang datang membawa rotan dan daung gebang yang sudah dikeringkan.

Yoseph Ike Kabelen ( 75 ) mantan ketua lembaga pemangku adat ( LPA ) desa Lewokluok yang ditemui penulis di sela – sela ritual, Selasa ( 16/06/15 ) menjelaskan, Rotan yang dibawa pun diiris menyerupai tali yang akan dipakai mengikat daun Gebang ( Enau). Kaum lelaki lainnya tutur Frans, menganyam daun Gebang hingga memanjang sekitar ± 2,5 meter. Daun Gebang yang sudah dianyam pun dimasukan ke dalam kayu dan diikat di sepanjang ujung atap yang Koke bale.

“ Ritual ini hanya mengganti bagian atap saja. Ujung atap yang rusak dibuka dan diganti dengan yang baru.Setelah ini baru dilakukan ritual penutupan bubungan atap Koke Bale “ ujarnya.

Potong Bambu

Pagi, Selasa ( 16/06/15 ), meski sang surya belum menampakan diri, satu dua lelaki sudah bergegas menenteng parang di tangan. Berjalan beriringan 5 orang lelaki dewasa warga suku Lewolein ( Lein ) bergegas menuju sebuah tempat yang berada di bagian ujung bawah sebelah selatan desa Lewokluok saat ini.

Membawa sebuah botol berisi Arak ( minuman beralkohol yang disuling dari Tuak yang disadap dari pohon Tuak atau Lontar ) dan sirih pinang, mereka berjalan menuju Ongaleren pemukiman awal masyarakat adat Demon Pagong.Setelah meletakan sirih pinang dan menuangkan arak di Merang, sebuah batu bulat sebagai wadah meletakan persembahan bagi leluhur, semuanya bergegas memotong bambu. Bambu bulat tersebut pun di bawa melewati jalan menanjak menuju tempat ‘ Koke Bale “ berada.

 “ Mereka berjalan melewati jalan yang sejak dahulu kala dilintasi nenek moyang saat membawanya ke areal Koke Bale.Kepala suku yang tentukan orang yang memotong bambu tersebut. Saat jalan juga orang tidak tegur karena sudah mengetahuinya “ paparnya.

Tak lama berselang, dari arah timur desa Lewokluok datang beberapa orang warga suku Lein dari dusun Subanriang membawa rotan disertai gong yang dibunyikan selama perjalanan.Saat tiba di beberapa rumah suku di Lewokluok, mereka berhenti sebentar membuang beras.Juga terdapat suku Kabelen yang menetap di desa Blepanawa datang dari arah bersamaan membawa sirih pinang dan telur yang akan dipakai memberi makan ( sesajen ) di Nuba ( batu tempat meletakan persembahan )..Memasuki Koke Bale, mereka dijemput dengan bunyian gong dan gendang.

Tuhuk Klewo

Rotan diiris menyerupai tali dan daun daun gebang dianyam.Bila bambu dipotong guna menahan sambungan daun Gebang yang dianyam memanjang ± 2,5 meter.Kedua lembar tadi pun disatukan hingga berbentuk kerucut dimana di bagaian atasnya beberapa helai daun gebang dibiarkan berdiri tegak.Seoarng lelaki separuh baya terlihat mengikat dua balok kayu dari pohon Gebang menyerupai segitiga.Saat semuanya selesai, anyaman ini pun dibawa ke atap untuk menutupi bubungan Koke Bale.

Theodorus Tolan Lein ( 70 ) tokoh adat desa Lewokluok yang ditemui penulis Rabu ( 17/06/15 ) di Koke Bale menuturkan, dalam pembuatan Koke Bale tidak diperbolehkn memakai paku. Rotan dipergunakan ntuk mengikat atap dari daun Gebang sementara kayunya di Kep atau disambung.Hanya suku Lein tambah Theodorus yang boleh naik ke atap Koke dan menutup bubungan atap Koke.

Terlihat 3 lelaki naik ke atap Koke smentara seorang lainnya berdiri di tangga bambu yang disandarkan di samping Koke.Daun Gebang berbentuk segitiga yang sudah dianyam di angkat ke atap dan diletakan di bubungan.Kayu berbentuk segitiga sebanyak 5 buah dipakai untuk menahan bubungan. Rumah adat ini beber Theodorus, baru dibangun tahun lalu ( 2014 ) sehingga tidak membutuhkan banyak perbaikan hanya mengganti beberapa bagian atap yang rusak saja.

“ Selama atap atau bumbungan rumah adat masih terbuka maka segala kegiatan pesta ditiadakan dahulu, ini pantangannya. Atap ditutup supaya semua kegiatan ritual bisa berjalan “ papar mantan guru ini.

Sebelum penutupan bubungan, suku Kabelen memberi makan leluhur di Nuba Nara. Beberapa tandan kelapa muda yang belum ada isinya diletakan di atas pelataran Koke Bale.
Hidupkan Kebersamaan

Bernardus Tukan ( 56 ),budayawan dan sejarawan Lamaholot yang ditemui penulis di rumahnya, Jumad ( 19/06/15 ) menyebutkan, rumah adat saat ini cuma berdiri saja dan sepanjang tahun tidak ada kegiatan. Paling setahun sekali komunitas suku memperbaikinya. Ritual ini beber Dus sapaan akrabnya, ditransformasikan juga ke dalam devosi umat Katolik di Larantuka menjadi Muda Tuan yakni memandikan patung dan benda kudus lainnya.

Sebenarnya upacara pembaharuan, pembersihan, ganti atap, simbol simbol itu semacam itu sambungnya, sejauh ini masih dipertahankan secara historis. Dengan adanya rumah suku, beber Dus, anggotanya merasa berada didalam masyarakat Lewo Tana. Di dalam masyarakat  Lamaholot sambungnya setiap suku mempunyai peran dan fungsi masing – masing yang mana hal ini diperankan dalam setiap ritual adat dan perbaikan atau pembangunan Koke Bale.

Masyarakat Lamaholot papar Dus, terbentuk dari Ata Diken,Ata Diken membentuk UmaLango, Uma Lango, rumah keluarga baru membentuk suku dengan Lango Belen ( rumah besar ) dengan benda pusaka sebagai solidaritas dan identitas. Kemudian suku lanjutnya, membentuk Lewo ( kampung ) yang dicirikan dengan Nuba Nara dan Koke Bale. Jadi Koke Bale boleh dikatakan merupakan solidaritas dan identitas masyarakat Lewo itu sendiri.

“ Sebenarnya pesan yang ingin disampaikan dalam ritual memperbaiki Koke Bale ini yakni menghidupkan kembali kebersamaan dan jiwa gotong royong sekaligus mengingatkan kembali peran setiap suku dalam komunitas adat “ pungkasnya.

Penulis : Ebed de Rosary                                  Email: ebedallan@gmail.com

Persembahan atau sesajian yang diletakan di Nuba Nara depan Koke Bale, rumah adat di Lewokluok. ( Foto: Ebed de Rosary )





Lensa EL Tari Memorial Cup XXVII Persami Vs Persedaya

Melihat Peruntungan Lewat Empedu Binatang Sembelihan

$
0
0
Mengambil hati hewan yang disembelih saat ritual Belo Howok di Korke desa Lewokluok untuk melihat peruntungan di tahun depan. ( Foto : Ebed de Rosary )
Ritual Belo Howok,Ritual Hari Kedua

Ritual Belo Howok merupakan kelanjutan dari ritual Take Koke sehari sebelumnya.Saat ritual, semua binatang disembelih dengan cara memenggal lehernya hingga putus. Binatang yang sudah disembelih di gantung di sebatang bambu yang diikat di pohon Kelua ( baca Keluwang ) yang ada di pelataran Koke Bale. Ritual yang dihadiri komunitas suku Demon Pagong ini diadakan setahun sekali. Ikuti penuturannya berikut.

Komunitas suku Demon Pagong di tiga desa yakni Lewokluok, Blepanawa dan Bama kembali mendatangi Koke Bale ( rumah adat ) di Lewokluok, Rabu ( 17/06/15 ).Binatang sembelihan berupa babi dan kambing terlihat di bawa ke pelataran rumah adat. Ritual diawali dengan membawakan Maran ( mantra adat ) di rumah suku kabelen.Setelah mantra pembukaan dilanjutkan dengan mantra Mani Moe, Demon Pagong, Raya Tuan, Ile Wokak, Ai Watan, Persatuan, Blepeknei atau perlindungan dan Lapit Loma.

Susudahnya para kepala suku beranjak ke Korke meminta penyerahan Tali Kora ( tali untuk mengikat binatang saat disembelih ) dari leluhur yang pertama kepada penerusnya .Usai ritual,semua kembali ke rumah suku masing – masing.Suku Nedabang menggelar ritual Pau Suri Kada, memotong binatang pertama untuk memberi makan Namang ( tempat ritual ), Suku Kabelen memberi makan Tale Kora ( Pau Tale Kora ) dan suku Lein Mudapukang menggelar Pau Laba Dolu ( memberi makan alat pertukangan yang pertama dipakai membuat Korke )

Suku Beribe memberi makan Bala ( gading ) sementara suku Goran Sisir.Lein jugamemberi makan ( memberi sesajen ) Pau Bala Lodan, rantai emas ( Lodan ) dan Bala ( Gading ),Sementara itu suku lainnya memberi makan gading dan benda pusaka peninggalan masing – masing suku.Usai itu, digelar  ritual memberi makan Damar ( Padu ), di rumah suku Lein.usai ritual semua suku bergerak dari rumah masing – masing menuju ke Korke.

Lihat Empedu

Frans Keliwu Lein ( 56 ) salah seorang tokoh adat yang ditemui penulis di rumah suku, Rabu ( 17/06/15 ) menjelaskan, saat tiba di Namang, Suku kabelen Koten Kelen ( tuan tanah ) memotong hewan di Nuba Nara sementara suku Lein yang memegang Damar menyala berdiri disamping yang dimaknai untuk menerangi. Sesudahnya, semua kepala suku sebut Frans, naik dan seekor babi disembelih diatasnya, dibelah lalu diambil empedunya untuk dilihat ( Gelia Urat ).

“ Jika empedunya penuh dan isi dalamnya bersih berarti hasil panen tahun depan melimpah keadaan dikampung aman, tidak ada gangguan jika kotor maka bernasib sebaliknya. Tadi saat melihat kita sudah tahu ke depannya akan seperti apa “ tuturnya.

Seekor kambing juga disembelih di pelataran Namang dan isi empedunya juga diperiksa, jika kondisinya sama dengan empedu babi kata Frans, maka dua - duanya sudah pas, artinya nasib ke depannya akan sesuai.Kepala babi yang dipotong di Korke dan masih berdarah sambungnya,oleh U’o Matan dioleskan ke tiang – tiang di Korke. Ini dilakukan untuk memberi penghargaan kepada suku – suku pemilik tiang.

Saat ditanyai penulis, setelah melihat empedu tadi bagaimana nasib panenan di tahun 2016? Frans sedikit berfilosofis mengatakan, curah hujan cukup namun keberhasilan panenan tergantung kepada masing – masing orang. Kalau rajin bekerja ucapnya, tentu hasil panen akan banyak. Awal masa tanam sambung Frans,akan ditentukan suku Lein dimana kepala suku akan melihat tanda lewat tengah kayu bercabang. Jadi setelah suku Lein tanam lanjutnya, maka semua komunitas suku mulai menanam.

Kampung Basi

Petrus Kerowe Lein ( 60 ) ketua adat suku Lewolein dalam kesempatan yang sama memaparkan, ritual kembali dilanjutkan dengan pemotongan hewan untuk diberikan kepada Laba Dolu alat - alat pertukangan yang dipakai saat pertama membangun Korke. Sesudahnya smabung Petrus, suku Lein memotong hewan untuk dipersembahkan kepada Padu ( damar ) serta suku Beribe untuk Suri Kada lalu dilanjutkan dengan pemotongan hewan oleh suku lainnya.

“ Yang memotong hewan setiap suku punya saudara sulung, Setelah dipotong hingga kepalanya terlepas, binatang sembelihan digantung di Namang “ terang kepala desa Lewokluok ini.

Sebelum penyembelihan hewan, tambah Petrus, suku Lubur yang memanggil setiap perwakilan suku guna menyiapkan hewan sembelihan. Suku Lubur juga bertugas menuang Arak bagi setiap wakil suku yang mengelilingi Namang saat ritual Belo Howok. Disaksikan penulis, semua perwakilan suku maju ke pelataran dengan membawa parang masing – masing. Ukuran babi dan kambing sembelihan beragam. Ada yang sekali tebas kepala binatang langsung terlepas dan ada satu dua yang dua kali potong.

Beberapa warga mengatakan, kalau langsung terpotong berarti bagus,dan kalau dilakukan berkali – kali nasibnya kurang baik.Hewan yang terkahir disembelih beber Petrus, dipotong untuk makan bersama di Korke saat itu sementara yang lainnya digantung.Hewan sembelihan yang digantung ini sambungnya, dibiarkan sampai keesokan harinya baru dipotong untuk dimasak dan dibagikan ke setiap anggota komunitas suku.

“ Karena hewan yang digantung tadi dimakan esoknya dan biasanya makanan yang disimpan suka basi maka kampung ini dinamakan Lewokluok,dimana bahasa daerahnya Lewo berarti kampung dan Kluok berarti basi. Jadi Lewokluok artinya kampung basi “ terangnya.

Berkat dan Kekuatan

Usai penyembelihan hewan kurban,U’o Matan memakan sirih pinang dan mengoleskan ke dahi peserta yang hadir seraya membuat tanda salib ( Hode Ilu  ). Semua masyarakat berebut dan berdesakan sambil memberikan dahinya ditandai.Untuk peserta yang tidak hadir cairannya ditampung di kapas dan dibawa pulang untuk dioleskan sendiri.Hode Ilu sebut Petrus bermakna memberi kesejukan kepada semua penduduk termasuk siapa saja yang hadir. Hewan yang disembelih dimakan bersama untuk menjamu semua masyarkat yang hadir.

“ Ada yang tidak hadir esok hari jadi mereka sudah menerima bagiannya hari ini. Ini dinamakan Wai Lala, makanan yang bermakna menguatkan jiwa dan raga “ terangnya.

Hode Ilu, menurut penjelasan Bernadus Tukan ( 56 ) sejarawan dan budayawan Lamaholot yang ditemui penulis, Jumad ( 19/06/15 ) bisa disamakan dengan berkat penutup Imam saat akhir perayaan ekaristi.Makna dari ritual ini terang Bernadus, memberi ketenangan atau semacam kekuatan bagi semua anak suku.Dengan adanya ini tambahnya orang merasa ada semangat, Lewo Tana atau leluhur selalu menyertai dan menjaga setiap perjalanan hidup mereka.

Usai Toto Dulat dilanjutkan dengan Hudu Bakat, makan memberi kekuatan Ada 3 Rengki  atau tumpeng yang diletakan di atas pelataran Korke yang disiapkan suku Kabelen, Lein dan Beribe. Suku kabelen memberi makan kepada suku Lein,suku Lein kepada suku Beribe serta suku Beribe kepada suku Kabelen dan Goran.Selanjutnya semua menari bersama ( Tandak ) dan nanti malam semua orang Mete ( begadang ) menjaga hewan yang disembelih dan digantung.

Penulis : Ebed de Rosary                                 Email; ebedallan@gmail.com


Gole Mati, Membagi Berkah Lewat Daging Kurba

$
0
0

Ritual Hari Ketiga atau Hari Terakhir " Koke Bale " 

Hari terakhir rangkaian ritual Koke Bale yang diadakan komunitas suku Demon Pagong di desa Lewokluok ditutup dengan Gole Mati, membagikan daging hewan sembelihan sehari sebelumnya. Setiap komunitas suku mengantar makanan persembahannya berupa Mati atau Lorit berbentuk kerucut di dalam anyaman daun Lontar ke Korke.Ikuti perjalanan liputan di ritual akhir ini.

Jarum jam menunjukan pukul 09.00 wita. Kamis ( 18/06/15 ) satu persatu perempuan dari berbagai suku mulai terlihat berjalan menuju Korke.Mati atau Lorit semacam tumpeng kecil yang diletakan di dalam anyaman lontar ( Bukat ) dijunjung di kepala.Ada yang meletakannya di dalam rantang atau piring yang dibungkus dan diikat kain.Masing – masing suku menyiapkan Lorit dan semuanya di bawa oleh perempuan dan diletakan di bale – bale bambu di Korke.

Ritual dimulai dengan Hudu Bakat, meminta kekuatan diselenggarakan di rumah suku Goran.Dikisahkan Theodorus Tolan Lein ( 70 ) tetua suku Lein kepada penulis, Kamis ( 16/06/15 ) suku Lein kawin dengan suku Goran saatmasih di tanah asal Sina Jawa dan saat berpencar mereka kembali ketemu di Lewokluok.Karena bertemu Goran maka sebelum membuat ritual adat sebut Theodorus,Lein harus mengambil kekuatan di suku Goran.

“ Khusus hari ini suku Lein bisa makan ayam dari Goran kalau hari lainnya tidak boleh “ ujarnya.

Beri Kekuatan

Petrus Botaama ( 83 ) sesepuh adat Demon Pagong yang ditemui penulis di hari yang sama menjelaskan, Hudu Bakat adalah salah satu ritual adat yang dimaksudkan untuk menyiapkn seseorang menjadi kader pemimpin di masa depan yang bisa menggantikan posisi orang tua mereka suatu saat nanti di meja adat.Selain itu tambah Botaama, Hudu Bakat juga bermakna menyiapkan sesorang agar kelak mampu berperan sebagai Ata Maran (mengucapkan mantra - mantra adat atau Koda Kirin).Selain itu, Hudu Bakat sambungnya, bertujuan agar seseorang memiliki keberanian untuk berbicara di depan umum guna menyampaikan ide dan pendapatnya serta memiliki keberanian dalam berperang.

Usai ritual Hudu Bakat, dilanjutkan dengan menyalahkan Padu ( Damar ) di rumah adat suku Lein dan disaat bersamaan, tiga buah Rengki atau Tumpeng besar disiapkan di rumah adat suku Kabelen.Yang siapkan suku Kabelen sementara yang membawanya suku Lein. Usai Padu dinyalakan, Rengki di rumah suku Kabelen dihantar bersamaan dengan Padu keluar dari masing – masing rumah suku menuju Korke. Suku Lubur pun berdiri di masing – masing sudut Korke dan berteriak mempersilahkan masing – masing suku membawa Lorit atau Rengki ke Korke.

Beberapa Lorit diletakan di Namang oleh suku Kabelen sementara suku Lein memegang Padu yang menyala berada di sampingnya.Padu diikat di tiang Korke sebagai makna menyinari, menerangi semua yang hadir. Ritual selanjutnya jelas Theodorus, suku Lubur memberi sepotong daging mentah ke suku Nedabang untuk dimakan.

“ Daging ini bermakna penghargaan bagi suku Nedabang yang harus makan duluan “ jelasnya.

Pantangan

Sementara itu di sebuah areal yang dijadikan tempat pemotongan hewan kurban, kaum lelaki sibuk memotong daging kurban. Daging – daging tersebut dimasukan ke dalam anyaman daun Gebang  ( Kolo). Disaksikan penulis beberapa lelaki dewasa terlihat cekatan memasukan potongan – potongan daging ke dalam daun Gebang  ( Enau ) tersebut seraya mengikatnya. Terlihat juga beberapa tungku api yang diatasnya diletakan dandang dan wajan untuk memasak daging,

“ Areal pemotongan daging ini kalau selesai dipergunakan dan saat ritual adat belum selesai tidak boleh ada yang lewat disana karena bisa mendapat celaka.Itu pantangan dan jika dilanggar langsung kena sakit, ini pernah terjadi “ ujar Ronald Lein (27 ) teman yang setia memandu.

Terlihat seorang tetua adat berjalan di pelataran Namang membawa beberapa kelapa muda.Menggunakan parang, kelapa tersebut di potong ujungnya dan airnya disiram di tanah di beberapa tempat di Namang dan kelapanya dibiarkan tergeletak disana. Juga 3 buah disiram di Nuba ( batu tempat persembahan ).Hal yang sama juga dilakukan oleh tetua adat di Korke. Air kelapa diperciki di beberapa tiang yang ada di Korke.Selain itu kelapa muda yang ada di korke juga dibagikan usai ritual.

“ Airnya diyakini untuk mendinginkan, menghalau Bala atau kesialan.Biasanya orang berebut memintanya untuk disiram di kendaraan atau rumah serta sekujur tubuh “ tutur Ronald.

Selain dibagikan sambung Ronald, kelapa tersebut juga dibawah ke setiap sudut kampung di desa Lewokluok, Blepanawa dan Bama yang termasuk di dalam 3 desa komunitas suku Demon Pagong.Air kelapa juga ungkap Ronald diperciki di bubungan atap rumah adat ( Korke )

Menukar Makanan

Seraya menunggu waktu ritual dilanjutkan, beberapa lelaki menari Namang di pelataran Korke.Usai semua daging dan Lorit yang dibawa disiapkan di Korke, upacara dilanjutkan dimana Tumpeng ( Tupe ) yang disiapkan oleh suku Kabelen diberikan ke suku Lein yang memegang Padu, dan dilanjutkan dengan Maran yang membicarakan tentang pembagian Lorit dan daging kepada semua warga suku.

Sebelumnya Tupe diambil oleh U’o Matan dan ditaruh di beberapa tiang dan atap bagian dalam Korke.Arak di Dasa ( tempurung kelapa ) pun disiram ke tempat tersebut.Beberapa tokoh adat berjalan mengelilingi bale – bale Korke dan mengambil Lorit di beberapa tempat. Lorit dari sebuah suku tersebut diambil dan ditukar ke wadah milik suku lainnya.

“ Ini bermakna membagi rejeki dan menandakan kebersamaan. Jadi rejeki yang dilambangkan dengan makanan tadi dibagi ke semua suku agar semua mendapatkan rejeki yang sama “ beber Theodorus, tokoh adat suku Lein.

Setelah semua Kolo berisi daging dan lorit dibagikan merata, tokoh adat suku Nedabang menyampaikan bahwa acara pembagian sudah selesai. Satu persatu perempuan menghampiri wadah yang dibawanya dan membawanya kembali ke rumah masing – masing. Para tetua adat masih bertahan di Korke.

Acara ditutup dengan Tihi Ketenek, makan daging sisa yang dilanjutkan dengan Tena Prat Lera Wulan, pesan terakhir, pesan pamit kepada Lera Wulan ( Dewa Langit ) dan Tanah Ekan ( Dewa Bumi ) bahwa rangkaian kegiatan sudah selesai.Disaat itu juga dilaporkan pertanggungjawaban kegiatan dan pemakaian dana oleh Lembaga Pemangku Adat serta membahas rencana pembukaan kebun baru ( Elo Buka Etan ).Semua suku kembali ke rumah suku untuk melakukan evaluasi dan membahas rencana kegiatan tahun depan.

Penulis : Ebed de Rosary                        Email : ebedallan@gmail.com






Wai Maki dan Pantangan Memalingkan Wajah

$
0
0

Ritual Koke Bale di Demon Pagong 
Hari Pertama

Jarum jam menunjukan pukul 20.30 wita semua kaum lelaki dewasa masyarakat adat suku Demon Pagong terlihat bergerombol di sebelah utara kampung. Hampir setiap orang memegang tas dan bungkusan berisi ketupat.Senter dan alat penerangan lain semisal lampu petromak terlihat ditenteng di tangan beberapa pemuda.Ritual adat apa yang akan dilaksanakan? Simak liputan berikut ini.

Malam semakin beranjak, jarum jam mendekati pukul 21.00 wita. U’o Matan, pemimpin tertinggi masyarakat adat Demon Pagong yang berasal dari suku Lein dan Kabelen bersama beberapa ketua suku lainnya mulai bersiap.Kita akan mengikuti ritual adat Eten Kehin ke Wai Maki bisik teman Ronald Lein ( 27 ) kepada penulis dan Engky Keban ( 26 ), teman wartawan yang akan meliput ritual ini.

Setelah membaca mantra, dengan sebuah obor  ( Padu ) U’o Matan berjalan di depan bersama seorang anggota suku .Goran yang memegang gong. Di belakangnya rombongan para kepala suku lainnya ikut berjalan menurun menyusuri kebun ke arah barat.Satu per satu komunitas suku berjalan berbaris menuyusuri jalan setapak. Jarak mata air Wai Maki sekitar 500 meter dari ujung desa Lewokluok.

Selama perjalanan gong dibunyikan untuk memandu perjalanan, supaya semua orang mengetahui bahwa ritual sedang dilakukan.Selama perjalanan, semua sempat berhenti di sebuah tempat yang dinamakan Ria Wetak, tempat tersebut sebelumnya merupakan sebuah kampung atau Riang. Ini dilakukan  untuk pamit atau permisi karena pasti leluhur ada disitu.

Bambu Cabang Tujuh

Wai Maki seperti disampaikan Petrus Kerowe Lein ( 60 ) kepala desa Lewokluok kepada penulis Rabu ( 17/06/15 ) di rumah adat suku Lein, merupakan tempat berdiamnya saudari dar suku Kabelen. Saat ritual, dibawa seekor kambing ( bisa juga babi ) kelapa muda, telur ayam, ikan kering, miniatur Koke Bale, WatuWele dan Kewatek ( kain tenun ).Sesampai di Wai Maki kata kepala suku Leini ini,U’o Matan langsung menuju mata air Wai Maki menghantar barang bawaan untuk diberikan kepada saudari dari Kabelen yang diyakini berdiam di mata air ini. Setelah itu sebatang bambu bercabang tujuh ditanamkan di Nuba ( tempat meletakan persembahan ), sebuah batu ceper dengan pohon asam ditengahnya.

“ Perkawinan sepanjang tahun antar suku harus dibuat ritual adat yang diberi nama Tali Laran atau buka jalan dahulu sementara belisnya ( maharnya ) kemudian sehingga saat malam itu dibuat seremoni adatnya di Wai Maki “ ujar tokoh adat ini.

Bambu bercabang 7 ini hanya setahun sekali ditanam di Wai Maki saat ritual Eten Kehin ini. Cabang yang ada melambangkan 7 suku besar yang ada di persekutuan masyarakat adat Demon Pagong.Ketujuh suku tersebut beber Petrus yakni Kabelen, Lein, Beribe, Nedabang, Lubur, Goran dan Kumanireng. Suku – suku ini yang awalnya berjasa dalam membentuk persekutuan masyarakat adat Demon Pagong.

Mantra Adat

Kekerabatan antar suku Kabelen dan Lewolei ( Lein ) yang merupakan U’o Matan ditandai dengan dibawanya binatang seperti Katak dan Udang yang ada dimata air Leto Matan di sisi timur desa Lewokluok yang ditaruh di dalam bambu berisi air untuk dituangkan di Wai Maki sebelum ritual dilaksanakan.Sesudah bambu ditancapkan, ritual adat pun dimulai.Terlihat beberapa ketupat digantung di cabang – cabang bambu.

Tempat ritual meupakan sebuah tanah lapang seluas sekitar 15 meter persegi yang ditengahnya terdapat sebuah pohon asam tinggi menjulang.Di bawah pohon asam tersebut diletakan batu – batu ceper yang dipakai sebagai Nuba ( tempat persembahan ).Sesudah semua berkumpul, arak diedarkan.Selanjutnya para kepala suku dan tetua adat yang ditunjuk membawakan Maran ( mantra adat ) mulai membawakan Maran.

Yoseph Homenara Lein ( 68 ) ketua lembaga Pemangku Adat desa Blepanawa kepada penulis, Rabu ( 17/06/15 ) menerangkan, Maran merupakan mantra adat yang biasa dibawakan saat ritual adat.Untuk ritualdi Wai Maki dibawakan 11 Maran yakni Lera Wulan ( sang pencipta ), Nenek Moyang, Demon Pagong,Raya Tuan, leluhur yang sudah meninggal serta Ile Woka, gunung – gunung yang memberi hujan. Selain itu juga dilantunkan Maran untuk Ai Watan, ( pantai- pantai), Guruh, Bala Bele ( penebus dosa ), Lapit Loma ( memberi kekuatan ), Sera Tale Nehin Kora ( orang pertama yang sudah meninggal menyerahkan tali kepada penerusnya ) dan diakhiri Maran tentang penyembelihan hewan kurban.

“ Semua mantra berceritera tentang sebuah peristiwa atau perjalanan sejarah Demon Pagong. Juga untuk memuja dan menyembah leluhur dan Lera Wulan Tana Ekan “ tutur Yoseph.

Bernadus Tukan ( 56 ) sejarawan dan budayawan Lamaholot melihat Maran sebagai moment sosialisasi untuk menceritakan sejarah kedatangan suku, batas - batas wilayah dan dan lain sebagainya yang semunya dilakukan saat moment ritual adat seperti itu sehingga generasi kini bisa mengetahui dan memahaminya.Tentu tidak semua orang yang bisa melakukannya, sebut Dus sapaan akrab mantan guru ini dan penulis buku sejarah dan budaya Lamaholot kepada penulis di rumahnya.

“ Untuk bisa membawakannya tentunya melewati sebuah proses pembelajaran dan semacam ilham atau ada petunjuk khusus sehingga membuat orang tersebut dengan sendirinya melantunkannya “  ungkapnya.

Jangan Dimakan

Usai Maran, seekor kambing ( bisa juga babi ) di sembelih dan darahnya diperciki di  Nuba Nara atau Meran. Kambing disembelih oleh suku Lein sementara Kabelen memegang kepala dan kakinya. Dagingnya pun dimasak dengan hanya menggunakan garam lalu dibagikan ke setiap orang yang hadir. Ronald Lein teman yang setia menemani kembali berbisik agar daging dan ketupat yang sudah dipegang jangan dimakan terlebih dahulu sebelum disuruh oleh U’o Matan.

“ Kalau ada yg makan dahulu maka dia melanggar hak orang lain dan akan dikenakan denda berupa gading.Kita harus memberi Lera Wulan dan tuan tanah terlebih dahulu “ tandasnya.

Susudahnya, wakil suku Kabelen terlihat maju meletakan nasi, daging dan menyiramkan Arak ke setiap cabang bambu dan di Meran. Hal ini dimaknai untuk memberi makan Lera Wulan dan leluhur terlebih dahulu.Sesudah diperbolehkan, semua pun mulai menyantap ketupat yang dibawa masing – masing dan yang disediakan lembaga adat dan diletakan di atas daun pisang.Usai makan semua kembali pulang dengan menempuh jalan dengan urutan perjalanan seperti semula.Peserta pun saat mulai berjalan dilarang menoleh ke belakang.

“ Di mata air diyakini ada Nitung ( semacam Kuntilanak ) yang berdiam disana sehingga jika kita menoleh maka dia akan mengikuti kita kemana saja “ terangnya.


Penulis : Ebed de Rosary                            Email: ebedallan@gmail.com

" Rumah Adat Lewokluok " Menanam Jangkar Emas, Mengusir Roh Jahat

$
0
0

Setahun sekali masyarakat adat Demon Pagong mendatangi Koke Bale, rumah adat Lewo atau Kampung di desa Lewokluok.Rumah adat dibersihkan dan digelar berbagai ritual adat tempat yang dianggap sakral ini. Koke Bale yang dibangun di sebuah tempat rata berbatu ini diyakini sebagai warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Bagaimana peran dan fungsi rumah adat dalam struktur kehidupan komunitas adat Demon Pagong? Ikuti penelusuaran berikut ini.

Sepintas bangunan ini nampak biasa saja, tak ada yang istimewa bagi orang kebanyakan yang pertama melihatanya.Namun jika ditelesuri lebih jauh, bangunan panggung beratap empat air ini memiliki makna penting dan dianggap sebagai identitas suku Demon Pagong. Areal Korke atau Koke Bale terdiri atas beberapa bagian dimulai dari bagian terluar yang terdiri dari susunan batu –batu pipih sebagai pembatas. Untuk sampai ke pelatataran, harus melewati beberapa buah tangga.

Yoseph Ike Kabelen ( 75 ) mantan ketua Lembaga Pemangku Adat desa Lewokluok saat disambagi penulis, Rabu ( 17/06/15 ) di tempat Koke Bale, menerangkan, di bagian tengah terdapat sebuah pelataran yang ukurannya lebih besar dari pelataran pertama yang dianamakan Namang. Tempat ini beber Yoseph,dipakai sebagai tempat dilasanakan ritual seperti penyembelihan hewan kurban. Sementara bagian akhir yang lebih tinggi tingkatannya merupakan ruangan di atas Koke Bale. Tempat lapang ini dipakai untuk duduk kepala – kepala suku dan perwakilan suku saat ritual adat dan menjadi pusat penyembahan kepada Lera Wulan Tanah Ekan Kaum perempuan sejak jaman dahulu pantang duduk di atas tempat ini.

“ Koke Bale ini barusan tahun lalu ( 2014 ) dibangun baru. Setiap tiang yang ada dilukis oleh masing – masing suku sesuai motif miliknya “ sebutnya.

Orang Pintar

Petrus Kerowe Lein ( 60 ) kepala desa Lewokluok sekaligus kepala suku Lewolein yang ditemui penulis di saat bersamaan mengisahkan, dahulunya kampung Lewokluok didiami oleh Suku Kabelen, Beribe dan Suku Nedabang. Karena masyarakat terserang wabah penyakit tutur Petrus, kepala suku Kabelen mencari orang pintar dari luar kampung dari suku Lein.

Setelah mendatangi kampung Lewokluok pertama – tama, dirinya membuat dua buah rumah tinggal yang lokasinya tidak jauh dari rumah adat Korke di Lewokluok lalu memulai proses ritual. Proses ritualnya  jelas Petrus, diawali dengan pembuatan Nama. Dalam proses ritual ini Suku Lein mengumpulkan seluruh masyarakat di kampung Lewokluok di pelataran Nama dan memeriksa satu per satu orang- masyarakat Lewokluok yang diduga memiliki roh jahat yang menyebabkan terjadinya wabah penyakit.

“ Orang yang diketahui  memiliki roh jahat, pada saat ritual langsung dibunuh di Nama “  tuturnya.

Setelah ritual pertama selesai, lanjut Petrus, dukun tersebut kembali membuat pelataran yang lebih besar di teras kedua yang disebut Namang. Proses ritual di pelataran ini dilakukan dengan menanam   jangkar kapal laut dari emas dengan tujuan agar kampung ini dapat memiliki poros yang kuat tidak terombang ambing oleh pengaruh -pengaruh dari luar dan menjadi tenang, aman dan sejahtera.

Proses ritual selanjutnya sambung Petrus, yakni membuat Korke yang berdiri sekarang ini. Suku Lein   ungkap Petrus, menyerahkan kapak keramat dan alat ukur kepada suku Beribe untuk menyiapkan bahan membangun rumah adat yang diawali dengan memilih hari yang baik dan proses ritual untuk pemilihan bahan serta melakukan pengukuran untuk pembuatan Korke.

“ Peralatan untuk membuat Korke tersebut yang dinamai Laba Dolu sampai sekarang masih disimpan dan setiap ritual adat di Korke benda tersebut diberi makan “ ungkapnya.


Tiang Suku

Dalam dokumentasi Studi Teknis Rumah Adat Lewokluwok yang dilakukan 11 anggota team dengan Dra.Ida Ayu Agung Indrayani selaku koordinator serta pengumpul data sejarah dan arkeologi tahun 2013 disebutkan, rumah adat dalam istilah lokal disebut Korke merupakan sebuah bangunan yang berbentuk rumah panggung tidak berdinding yang ditopang dengan 6 buah tiang utama dan 18 buah tiang bantu ( penyanga ). 
Rumah adat Korke dibangun melalui proses yang panjang, yakni harus melalui serangkaian upacara ritual dimulai dari pemilihan bahan dan penebangan pohon sampai rumah adat tersebut selesai. Di siang hari proses pengerjaan bangunan dilaksanakan dan di malam harinya masyarakat menjaganya sambil menari dan bernyanyi, mengisahkan asal usul dan kisah mitologinya.
Rumah adat ini memiliki 6 buah tiang utama yang disebut Ri’ē dan  18 buah tiang penyangga dengan sebutan Blēdanyang mewakili setiap suku yang ada di persekutuan masyarakat adat Demon Pagong. Enam tiang utama ( Ri’ē ) mewakili suku - suku induk yakni Suku Kabēlen,Nēdabang, Lewati atau kumanireng, Lubur, Lewolēin dan Sogē Kun.
Sementara 18 tiang penyangga ditempati suku Kabēlen 2Blēdan (Kabelen Koten Kēlen dan Kabelen Amatukan dan Tuhuwutun ), suku Lewotobi Blolo’n, Suku Sogē Kun, Lewotobi Suban Pulo, Lewolēin 2 Blēdan serta suku Umbaya ( Lewogoran ), Juga terdapat Blēden milik suku Lewogoran, Lubur 2 Blēdan, Kumanirēng, Lēwati, Lewohera, Nēdabang serta Beribē 2 Blēdan.
Sepasang Pohon
Persis di depan Koke Bale terdapat pohon Keluang dimana untuk membedakan jantan dan betina ditentukan dari buahnya dimana pohon jantan tidak berbuah.Di bawah kedua pohon ini dikelilingi batu ceper dan batu kerikil yang diyakini akan bertambah dan berkurang disesuaikan dengan jumlah penduduk komunitas adat. Selain itu juga terdapat sebuah pohon Tuak ( Enau ) yang saban hari diiris suku Nedabang dan sebuah pohon Kesambi.
“ Pohon Keluang tidak boleh diambil daunnya atau ditebang dan yang boleh iris tuak cuma suku Beribe dan Nedabang “ sebut Teheodorus Lein ( 70 ) salah satu tokoh adat.
Dahulu papar Theodorus, rumah adat milik suku beratap ilalang mengelilingi Korke, tapi saat ini hanya ada 4 rumh adat saja yang masih asli sementara yang lainnya sudah beratap seng dan berdinding tembok. Ruang didalam Korke sesuai data Studi Teknis Rumah Adat Lewokluwok dibawah pipinan Ida Ayu Agung Indrayani i tahun 2013 disebutkan dibagi menjadi 10 petak.
Dua petak ditengah-tengah dengan ukuran 2,96 kali 2,16 meter dan 8 petak disisi luar berukuran lebih kecil, 2,76 kali 1,50 meter. Petak yang berukuran lebih kecil berfungsi sebagai tempat duduk dari suku-suku pendukung sedangkan 2 petak yang ukurannya lebih besar berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesajen ( berupa tumpeng atau Rengki ) untuk sarana ritual dan sebagai  tempat duduk bagi tetua adat apabila kekurangan tempat pada petak yang lebih kecil.

Penulis : Ebed de Rosary                      Email : ebedallan@gmail.com

U’o Matan dan Kisah Angka Tujuh Yang Keramat

$
0
0

Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Masyarakat Adat Demon Pagong

Setahun sekali, semua keturunan suku yang ada di Demon Pagong sebuah kecamatan di kabupaten Flores Timur, berbondong – bondong mendatangi Koke. Rumah adat Lewo ( kampung ) yang terletak di desa Lewokluok yang berjarak sekitar 25 kilometer arah barat kota Larantuka ini dipadati masyarakat khusunya tiga desa yakni Lewokluok,Blepanawa dan Bama sendiri. Apa yang memotivasi  warga suku di tiga desa tersebut hadir?

Pagi itu , Senin 2 Juni 2015 semua warga bergegas ke Koke Bale, rumah adat di desa Lewokluok. Sesuai pemberitahuan, hari ini akan ada kegiatan “ Tawi Namang “. Tawi dalam bahasa daerah Lamaholot dimaknai sebagai tebas, potong atau membersihkan sementara Namang berarti tempat atau pusat ritual yang akan dilakukan di Koke.

Petrus Krowe Lein ( 60 ), kepala desa Lewokluok sekaligus kepala suku Lewolein yang ditemui penulis di Koke Bale, Selasa ( 16/06/215 ) mengatakan, semua warga melakukan pembersihan lokasi rumah adat dan juga perbaikan rumah adat. Pembersihan lokasi rumah adat ini sebut Petrus, hanya boleh dilakukan setahun sekali. Pada hari pertama ini juga sambung anggota lembaga pemangku adat ini, dilakukan kegiatan pemberian sesajian kepada peralatan tukang atau Laba Dolu.

“ Peralatan ini merupakan peralatan pusaka hasil peninggalan dari nenek moyang yang pertama dipergunakan untuk membangun Koke Bale “ ujarnya.

U’o Matan

Sehari sebelumnya setelah berunding, U’o Matan mengeluarkan pemberitahuan agar semua masyarakat suku datang membersihkan areal sekitar Koke Bale. Sesudah ada pemberitahuan ini, kata Petrus semua anak suku, komunitas atau anggota suku baru diperbolehkan datang membersihkan Koke Bale.Jadi selama setahun lanjutnya, meski rumput sekitar Koke sudah tinggi dan sampah berserakan,tidak diperkenankan untuk dibersihkan.

U’o Matan papar Yosep Ike Kabelen ( 75 ) seorang tokoh adat dan mantan ketua lembaga pemangku adat ( LPA ) desa Lewokluok, bisa dikatakan sebagai pemangku kepentingan atau pemimpin tertinggi para kepala suku asli asal Lewokluok. U’o Matan terdiri dari suku Kabelen dan Lein.Merekalah suku – suku awal yang mendiami tanah Demon Pagong yang saat itu masih di desa Lewokuok saja.

Dalam buku lembaga adat Demon Pagong Lewokluok berdasarkan hasil musyawarah besar pertama masyarakat adat Demon Pagong tahun 2011 dikatakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam komunitas masyarakata adat Demon Pagong yang tidak tergantikan adalah Forum Masyarakat Adat Demon Pagong yang disingkat Demon Pagong.Dalam pelaksanaan sehari – hari forum ini dimandatkan kepada dan dijalankan oleh U’o Matan dari suku Kabelen dan Lewolein ( Lein ). Saat ini U’o Matan dijabat bapak Yosep Sedu Kabelen dan bapak Leo Leki Lein.

U’o Matan melakukan pembagian kekuasaan dan wewenang kepada kepala suku sebagai perpanjangan tangan U’o Matan dalam memimpin masyarakat dimana dalam struktur masyarakat adat dikenal dengan istilah Lein – Werang. Tugas dan kewenangan yang diberikan sebut Yosep meliputi Tuan Tana, Belo Howok, Guan Gahin, Mani Mo’e Koten Kelen, Hurit Maran dan lainnya.

“ Mengingat perkembangan jumlah penduduk dan ketersebaran wilayah ulayat, maka dalam musyawarah adat tersebut disepakai membentuk sebuah badan bernama Paku Lewo untuk mendampingi dan membantu U’o Matan dan bertanggung jawab kepada U’o Matan “ papar Yosep.

Angka Ganjil

Dalam kesempatan perundingan di tanggal 2 Juni 2015 tersebut U’o Matan bersepakat menentukan selang waktu 7 hari untuk penyelenggaraan ritual selanjutnya.Biasanya disepakati tenggat waktunya diambil di angka tengah. Misalnya suku Kabelen meminta jeda waktu 5 hari dan suku Lein mengajukan 9 hari, maka disepakati 7 hari.

Yoseph Homenara Lein ( 68 ) ketua LPA Blepanawa memaparkan, selang waktu pelaksanaan ritual tahun ini yakni 7 hari yang ditentukan U’o Matan tidak bisa diganggu gugat dan wajib dilaksanakan. Hal ini sambung Yoseph menyebabkan pelaksanaan ritual Take Koke dilaksanakan tanggal 9 Juni sementara Tuhuk Klewo dilaksanakan tanggal 16 Juni 2015.

Kalau perwakilan kedua suku sudah tentukan yang lain tidak boleh membatalkan sebab mereka merupakan pemimpin tertinggi “ ungkapnya.

Apakah kesepakatan ini disampaiakn juga kepada Ema Bapa, semacam orang tua yang dalam hal ini dijabat suku Beriber, Yoseph mengatakan, memang dikonsultasikan dan disampaikan tetapi Ema Bapa menyepakati dan mengikuti apa yang diputuskan U’o Matan. Pemilihan angka ganjil untuk jeda waktu setiap tahapan ritual tambah Yoseph dilakukan sejak dahulu.

“ Pokoknya angka ganjil, kalau tidak 5 hari, bisa 7 hari atau 9 hari.Tapi biasanya jaraknya 7 hari. Keputusan yang diambil U’o Matan juga sudah mempertimbangkan  dari banyak aspek tentunya “ tutur Yoseph.

Dalam buku hasil Musyawarah Besar masyarakat adat Demon Pagong tahun 2011, U’o Matan dengan dibantu Paku Lewo diberi tugas untuk melakukan inventarisasi semua aset masyarakat adat Demon Pagong terutama gugusan lahan pertanian ( Etan ) serta memastikan batas – batas tanah dengan desa tetangga.U’o Matan juga diberi tugas menghentikan semua tindakan penyerobotan tanah oleh oknum dari desa tetangga termasuk pencurian kekayaan hutannya.  ( Bersambung )

Penulis : Ebed de Rosary                             Email : ebedallan@gmail.com



Tiang Suku Menopang Kontruksi Rumah Besar

$
0
0
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Masyarakat Adat Demon Pagong

Setiap suku yang tergabung dalam persekutuan masyarakat adat Demon Pagong memiliki latar belakang sejarah dan telah memberikan sumbangsih masing –masing baik berupa materil maupun non materialuntuk melahirkan Demon Pagong sebagai sebuah persekutuan masyarakat adat.Latar belakang sejarah dan kontribusi suku – suku ini diwarnai dalam pembagian tugas dan wewenang yang dilakukan Demon Pagong.

Suku – suku yang sejak awal membangun konstruksi Demon Pagong adalah Beribe, Kabelen, Nedabang, Lewolein, Soge Kun danWun Terong. Juga terdapat suku Kumanireng dan Lewati, Lewohera, Lubur, Wun Soge, Lewogoran, Lewotobi Blolo’n serta Lewotobi Suban Pulo. Sementara itu suku – suku yang datang kemudian dan ikut memperkuat struktur masyarakat adat yakni Lamaktukan, Lewotobi Lere’n, Lamaherin, Lamamoron dan Open.

“ Keberadaan dan peran suku – suku ini diwujudkan dalam simbol tiang kayu di rumah adat Koke Bale.Ini berarti setiap suku bersatu membentuk sebuah rumah besar yang bernama Demon Pagong “ ujar Theodorus Tolan Lein ( 70 ) tokoh adat suku Lewolein.

Membuka Diri

Theodorus yang ditemui penulis saat pagelaran ritual adat di Lewokluok, Selasa ( 16/06/15 ) menjelaskan, arti kata Demon Pagong. Menurut Theodorus, Demon itu nama kelompok suku di pulau Adonara, sementara Pagong itu kelompok, jadi Demon Pagong diartikan sebagai “ Kelompok Demon “. Demon Pagong tambahnya merupakan persektuan masyarakat adat yang datang dari setiap tempat yang berbeda dan bergabung di Lewokluok tapi dibawah kordinir U’o Matan.

Relasi atau hubungan antar suku dalam komunitas Demon Pagong sebut Theodorus, ada tiga jenis yakni Kaka Ari ( Kakak Adik atau Kaka Ade ) Ina Ama ( Ika Ayam atau Belake ) dan Bine Ana (Ana Opu ). Suku Kabelen Ina Ama suku Beriber, sementara suku Beribe Ina Ama suku Lewolein serta suku Lewolein Ina Ama suku Kabelen.Untuk Bine Ana sebaliknya, suku Beribe Bine Ana suku Kabelen, suku Kabelen Bine Ana suku Lewolein serta suku Lewolein Bine Ana suku Beribe.

“ Relasi atau hubungan ini tidak dapat dibolak – balik karena ini berkaitan dengan pengaturan ketertiban warga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat adat seperti perkawinan, kematian dan lain sebagainya “ paparnya.

Seiring dengan masuknya suku – suku lain dalam persekutuan masyarakat adat Demon Pagong jelas Theodorus, maka terjadi hubungan Kaka Arin dengan ketiga suku tersebut dan mengambil posisi yang sama dengan suku Kaka Ari tersebut terhadap suku – suku yang lain baik sebagai Kaka Ari, Bine Ana maupunIna Ama. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi pula hubungan Likat Telo ( kekerabatan ) yang baru, misalnya antara suku Kabelen – Lewogoran – Lewolein dan yang lainnya.

Kampung Basi

Seperti dicantumkan dalam buku hasil Musyawarah Besar Masyarakat Adat Demon Pagong tahun 2011, dikatakan bahwa tidak dapat dinaifkanadanya ancaman pengaruh budaya asing ini mama tatanan sosial kemasyarakatan ini dipandang perlu untuk dilestarikan dengan menegaskan kembali nilai – nilai luhur yang terkandung didalamnya.Perlu pula disebutkan agar membuka diri untuk penyesuaian tanpa menggerus nilai – nilai luhur yang ada dan sudah diwariskan turun temurun sejak nenek moyang.

Demon Pagong yang awalnya merupakan komunitas suku sejak tahun 2006 berdasarkan peraturan daerah nomor 2 tahun 2006 tentang pembentukan kecamatan baru, maka Demon Pagong disahkan menjadi kecamatan mengambil dengan menetapkan Lewokluok sebagai ibukota kecamatan.Sebagai sebuah desa induk, Lewokluok menurut penuturan kepala desa Lewokluok, Petrus Kerowe Lein ( 60 )  saat ritual adat di kampung tersebut,Rabu ( 17/06/15 ) saat ini dihuni oleh 1.155 jiwa yang ada pada 314 kepala keluarga.

Nama Lewokluok paparnya terdiri dari dua kata yakni Lewo yang berarti Kampung dan Kluok yang berarti Basi. Pemberian nama ini karena saat ritual adat Belo Howok, penyembelian kurban atau binatang, hewan sembelihan tersebut digantung di pohon Kelua ( baca Keluang ) di depan Koke Bale dan dibiarkan semalaman. Keesokan harinya saat digelar ritual Gole Lewo atau biasa juga disebut Gole Mati baru binatang tersebut di potong untuk dimakan dan dibagikan.

“ Makanan ataua daging binatang yang basi tersebut menyebabkan kampung ini disebut Lewokluok.Tapi jika dirasa, daging yang dimakan tidak terasa basi padahal hanya diberi bumbu garam saja “ tuturnya.

Komunitas suku yang tergabung di dalam Demon Pagong awalnya berdiam diLewokluok namun setelah itu berpencar di desa Bama dan Blepanawa. Meski kecamatan Demon Pagong terdiri atas 6 desa sebut Petrus, komunitas Demon Pagong terbanyak ada di ketiga desa tersebut.Desa Lewokluok juga tambahnya sudah ditetapkan menjadi desa wisata di kabupaten Flores Timur karena setiap tahun rutin menggelar ritual adat Koke Bale. ( Selesai )

Penulis : Ebed de Rosary                         Email : ebedallan@gmail.com



Hatrik Yoris Nono Permalukan Perserond

$
0
0

El Tari Memorial Cup XXVII

MAUMERE, Media NTT – Dua gol yang dilesakaan Yoris Nono pada 10 menit terkagir pertandingan melengkapi sebuah gol yang diciptakan dirinya di menit ke 39. Pemain bernomor pungung 9 ini pantas dinobatkan menjadi pemain terbaik pada pertandingan ini. Pergerakan pemain berpostur pendek ini sangat merepotkan barusan pertahanan kesebelasan Rote Ndao yang mengenakan kostum hiju garis hitam dalam pertandingan penyisihan di pool 4 Senin ( 26/10/15 ).

Serangan yang dibangun anak - anak asuhan Yohanes Wou Dopo dari kedua sayap dan sesekali menusuk dari tengah jantung pertahanan sempat membuat prestasi Erickson Capitan dan kawan – kawan. Hasilnya langsung terlihat dengan terciptanya gol pertama di menit ke 7 dimana Okta Pone dengan tenang menjebol gawang yang dikawal John Lawa.Suporter Ngada yang memadati stadion Gelora Samador Maumere pun bersorak riang.

Tertinggal satu gol, anak – anak Rote Ndao coba bangkit dan mengatur serangan. Permainan pelan diterapkan dengan memanfaatkan umpan – umpan pendek hingga memasuki area pertahanan PSN Ngada. Beberapa kali tendangan dari luar garis 16 masih belum tepat sasaran.

Sebuah umpan yang disodorkan Okta Pone pemain dengan dengan nomor punggug 10 di dalam kotak pinalti gagal diselesaikan Yoris Nono. Sepakannya masih melebar di kiri gawang Rote Ndao.Dus Neri dan kawan – kawan terlihat sesekali bermain keras. Tercatat beberapa klai terjadi pelanggaran. Timotius Batuk pemain Perserond yang mengenakan kostum dengan nomor punggung 12 terkapar di menit ke 30 setelah beradu kepala dengan bek Ngada.

Peluang Ngada menambah pundi gol tercipta di menit 32 saat Dus Neri sang kapten menceploskan bola umpan dan menggetarkan jala Rote Ndao. Namun sebelum melepaskan tendakan, Neri sudah terperangkap off side sehingga gol ini pun dianulir wasit.Kerja keras pemain Ngada akhirnya terjawab dengan lahirnya gol kedua di menit ke 39 yang dilesakkan Yoris Pono.Memanfaatkan umpan terobosan dari jantung kiri pertahanan Rote Ndao, Yoris melepaskan tendangan keras dan bola pun bersarang di pojok kanan gawang Perserond.

Awal babak kedua serangan PSN kian gencar. Saat pertandingan baru berjalan 4 menit Okta Pone kembali mencetak gol keduanya. Tendangan kerasnya masih sempat ditangkap kiper namun terlepas dan bola meluncur pelan membentur tiang kiri gawang Perserond dan berbelok memasuki jala.Unggul dua gol tidak membuat anak asuhan John Dopo, pelatih yang selalu berkemeja dan mengenakan dasi berpuas diri.

Usai satu – satunya gol Perserond hasil sundulan Mohammad Bois di menit ke 64, 10 menit jelang pertandingan berakhir Ngada melengkapi pesta gol mereka.Serangan apik yang dibangun Sin Dua, Okto Pone, Yoris Nono serta Asri Nio berbuah lahirnya gol ke empat di menit ke 80 yang disumbangkan Yanto Wada pemain dengan nomor punggung 18. Yoris pun kian terpacu menciptakan gol kembali sehingga lahirlah gol di menit ke 81 dan 86 sekaligus menutup pesta gol Ngada.

Dengan kemenangan ini, Ngada sudah dipastikan mendapat satu tiket di babak 8 besar dan mengantongi nilai 6 hasil dua kemenangan. Ngada masih menyisahkan satu pertandingan lagi di partai terkahir penyisihan group pool 4 dimana kesebelasan berkostum Oranye ini akan ditantang Manggarai Barat hari Jumad ( 30/10/15).

John Dopo, arsitek Ngada yang ditemui wartawan usai pertandingan mengatakan PSN Ngada datang ke turnamen El tari MemorialCup ke XXVII kali ini dengan target menjuarai event ini. Setiap pertandingan sebut John dianggap sebagai partai final sehingga dirinya menginstruksikan para pemain untuk meraih kemenangan. ( ebd )


 Ebed de Rosary                     Email : ebedallan@gmail.com
Viewing all 339 articles
Browse latest View live