Oleh : Asep Purnama
‘Gigitan Anjing Rabies. Valens Ikuti Jejak Patris’, demikian berita utama di halaman depan harian Flores Star edisi 20 Juni 2011 yang menceritakan ganasnya virus rabies yang kembali memakan korban 3 warga Sikka. Tanggal 11 Juni 2011, Lutgardis Due Lete meninggal, seminggu kemudian (17/6/2011) Patris Patar meninggal dunia dan Valens Martino menyusul menghembuskan nafas terakhir akibat terinfeksi virus rabies 2 hari kemudian (19/6/2011). Ketiga anak tidak berdosa tersebut direnggut nyawanya oleh virus rabies hanya dalam waktu sepuluh hari.
Menanggapi kasus rabies tersebut, seperti biasanya, semua pihak terkait mulai rapat, berdiskusi dan berjuang untuk mengadakan vaksin anti rabies (VAR). Terkadang diselingi dengan saling menyalahkan, “Kenapa VAR tidak ada?” atau “Kenapa terlambat dibawa ke rumah sakit?”. Dan tidak terasa, ritual ini sudah berlangsung hampir 15 tahun, sejak masuknya virus rabies ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Flores Timur, untuk pertama kalinya di tahun 1997.
Saya pernah menuangkan keprihatinan atas banyaknya korban sia-sia akibat ganasnya virus rabies dalam opini yang dimuat di Pos Kupang pada tahun 2005 dengan judul: “NTT Bebas Rabies: Perlu Berapa Korban Nyawa Lagi Untuk Mewujudkannya”. Di opini tersebut saya mengutip pernyataan Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTT saat itu, Ir. M Litik, yang mengatakan bahwa korban tewas akibat gigitan anjing yang tertular virus rabies di NTT selama kurun waktu tahun 1998-2005, mencapai 120 orang.
Jika dikumulatifkan hingga sekarang, korban tewas sia-sia akibat rabies tentu sudah lebih dari 200. Belum cukupkah kita belajar dari kematian ratusan saudara kita selama ini? Butuh berapa korban nyawa lagi agar kita lebih serius menangani rabies di NTT, khususnya di Flores Lembata?.
Apa yang saya pertanyakan dalam opini diatas sejalan dengan apa yang menjadi kegelisahan sahabat saya, Frans Anggal. “Sudah satu dasawarsa lebih di Flores, rabies tidak hilang-hilang. Bupati boleh datang dan pergi, DPRD boleh naik dan turun, rabies tetap tinggal di tempat. Sudah begitu banyak pertemuan, lokakarya, program, anggaran, dan kegiatan pemberantasan, rabies tidak beranjak. Pulau Flores sudah menjadi semacam pulau rabies” (Flores Pos edisi 6 Agustus 2009)
Mungkinkah NTT Bebas Rabies
Sebenarnya, pada tahun 2000 pemerintah melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PPM dan PPL sudah mencanangkan ‘Indonesia bebas Rabies 2005’. Jadi, masalah pemberantasan rabies merupakan program nasional, dan sudah direncanakan sejak beberapa tahun yang lalu.
Berdasarkan kriteria Departemen Kesehatan, suatu daerah dikatakan bebas rabies jika daerah tersebut secara histori tidak pernah ditemukan penyakit rabies atau daerah yang tertular rabies akan tetapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.
Apakah propinsi yang dinyatakan tertular rabies seperti NTT, bisa berubah status menjadi daerah bebas rabies? Jawabannya, sangat bisa. Tiga propinsi, yaitu propinsi Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tengah telah membuktikan bahwa dengan kemauan dan usaha keras berbagai pihak suatu daerah bisa bebas dari rabies. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.892/Kpts/TN.560/9/97 tanggal 9 September 1997, menjadi bukti bahwa ketiga propinsi yang awalnya masuk dalam kategori tertular rabies, akhirnya dinyatakan bebas rabies.
Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati
Opini saya yang kedua dimuat di Flores Pos dengan judul:” Pemadam Kebakaran yang Kehabisan Air: Penanggulangan Rabies di NTT “.Disini saya menceritakan kebiasaan kita dalam upaya menyikapi gigitan anjing rabies. Jika ada masyarakat yang digigit anjing rabies maka pemerintah harus segera mengobati, harus segera disiapkan VAR untuk menyelamatkan sang ’korban’. Tetapi kenyataan yang terjadi selama ini, beberapa kali kita baca di media massa, kekosongan VAR manakala diperlukan korban gigitan anjing.
Kenapa kita fokus pada upaya vaksinansi manusia bukan vaksinasi anjing yang jauh lebih murah?. Vaksinasi manusia dengan VAR memerlukan biaya Rp. 700.000, 00 sedangkan vaksinasi anjing hanya memerlukan biaya Rp. 5.000,00. Apakah anggaran pemerintah kita cukup untuk pengadaan VAR secara rutin? Apakah dengan berfokus pada upaya mengobati dan menyediakan VAR, masalah rabies di Flores-Lembata (Floresta) akan bisa diselesaikan?
Bagi masyarakat Floresta umumnya anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar seperti kera, babi hutan, musang dan tikus. Anjing mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena disamping sebagai penjaga rumah dan kebun, anjing juga dijadikan santapan yang lezat di restoran dan warung-warung setempat. Anjing bagi masyarakat Floresta juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hampir semua rumah tangga memiliki anjing.
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) perbandingan jumlah anjing dengan jumlah penduduk yang ideal adalah 1:16. Artinya setiap 16 penduduk terdapat satu ekor anjing. Menurut Ewaldus Wera (2001), kepadatan jumlah anjing di Floresta sangat tinggi yaitu 1:3, dimana jumlah anjing mencapai kurang lebih 618.560 ekor sedangkan jumlah penduduknya hanya 1,8 juta jiwa.
Pada kasus rabies di negara kita, khususnya di Flores-Lembata, jelas bahwa anjing memegang peranan sangat penting sebagai hewan penular rabies (HPR). Sementara, untuk dapat mengenal apakah seekor anjing sudah tertular rabies atau belum, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Dikatakan anjing sudah tertular rabies jika takut terhadap cahaya, suara atau bunyi-bunyian dan takut terhadap air serta menggigit semua yang ada disekitarnya. Tetapi hal tersebut tidak selalu didapati pada semua anjing yang tertular rabies. Deteksi secara pasti hanya dapat dilakukan dengan mengambil jaringan otak hewan tersebut.
Ini dilakukan karena pertama; untuk mengenali apakah seekor anjing sudah tertular rabies tidak mudah. Kedua; adanya masa inkubasi yang tidak menampakkan gejala, membuat banyak orang tidak segera datang berobat setelah digigit anjing. Mereka menganggap (baca: berharap) anjing yang menggigit mereka belum tertular rabies dan ini didukung dari tidak adanya gejala yang serius pada dirinya, padahal bisa saja gejala yang belum muncul itu karena mereka masih dalam masa inkubasi. Ketidaktahuan ini menyebabkan mereka datang berobat jika sudah bergejala dan biasanya sudah terlambat, dimana virus telah berinvestasi pada susunan saraf pusat, dan berakibat fatal. Jika sudah demikian, maka pertolongan apapun, termasuk dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR), hasilnya akan sama, yaitu kematian.
Saat ini dunia kedokteran belum mampu untuk memberikan pengobatan penderita rabies dengan manifestasi klinis berupa takut terhadap air, udara, maupun cahaya. Sementara, pemberian vaksinasi pada korban gigitan anjing rabies juga sangat mahal, sebesar Rp. 700.000,00.
Kita ambil contoh situasi di Kabupaten Sikka. Pada tahun 2010 terjadi 1325 kasus gigitan anjing. Kalau semua kasus tersebut harus divaksin maka diperlukan biaya untuk pembelian VAR sebesar Rp. Rp. 927.500.000,00 [1325 x Rp. 700.000,00]. Sementara anggaran keseluruhan untuk pemberantasan penyakit infeksi [Program P2PM-Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular] di Kabupaten Sikka tahun 2011 hanya sebesar Rp. 633.987.050,00. Jika kita anggap jumlah kasus gigitan anjing pada tahun 2011 sama dengan jumlah kasus gigitan anjing pada tahun 2010 dan kita hanya fokus pada pengadaan VAR, maka seluruh total anggaran P2PM ternyata tidak cukup untuk membeli VAR. Padahal Program P2PM tidak hanya mengurus rabies, masih banyak penyakit infeksi lain yang ada di bumi Sikka yang harus ditanggulangi seperti Malaria, Frambusia, Tuberkulosa, HIV/AIDS, Anthrax, Kusta, Filariasis, Diare dan lain sebagainya.
Melihat permasalahan pengobatan dan pemberian VAR yang sangat pelik, sangat bijaksana jika kita sebaiknya lebih fokus ke upaya pencegahan. Sudah tidak jamannya lagi kita bertindak reaktif ala petugas pemadam kebakaran. Ada warga yang tergigit anjing rabies, baru kita kebingungan untuk mengupayakan pengobatan dan vaksin anti rabies (VAR) gratis. Sementara Pemerintah yang diharapkan untuk menyiapkan VAR tidak sanggup menyediakan karena anggaran yang ada tidak hanya untuk menanggulangi rabies semata. ”Kesulitan” Pemerintah menyiapkan VAR yang mahal tersebut bisa kita ketahui secara sederhana dari berita di berbagai media massa akan kelangkaan VAR manakala ada korban gigitan anjing di wilayah Flores dan Lembata.
Perlu Upaya Penegakan Hukum
Untuk upaya pencegahan selain partisipasi masyarakat, tentu Dinas Peternakan yang akan berperan utama karena lebih banyak berurusan dengan hewan penular rabies. Langkah pertama untuk menyukseskan program pencegahan, setiap pemilik anjing dilarang melepas anjingnya tanpa kendali. Silahkan mengajak anjing jalan-jalan, tapi harus didampingi. Kalau tidak mau mendampingi, harap diberi penutup moncong supaya tidak bisa menggigit. Kalau tidak mau mendampingi dan tidak mau memasang penutup moncong, biarkan anjing tersebut berada di rumah saja. Bagaimana mungkin seekor anjing didampingi atau diberi penutup moncong, padahal si anjing tersebut diberi tugas untuk menjaga kebun?
Jika seekor anjing akan dilepas untuk menjaga kebun, maka sang pemilik anjing harus memvaksin anjingnya tanpa terkecuali. Kalau tidak mau memvaksin, disarankan untuk tidak memelihara anjing. Inilah bentuk tanggung jawab masyarakat dalam upaya mewujudkan Flores Lembata bebas rabies.
Sebaiknya setiap anjing mempunyai identitas, siapa pemiliknya dan apakah sudah divaksin atau belum. Identitas tersebut digantungkan pada leher si anjing. Dinas Peternakan bisa ditunjuk sebagai instansi yang mempunyai otoritas memberikan identitas tersebut. Jika seekor anjing tidak beridentitas, maka boleh untuk dimusnahkan warga demi keamanan bersama. Seorang pemilik anjing yang karena keteledorannya, misalnya anjingnya tidak divaksin rabies, layak mendapatkan hukuman setimpal jika anjingnya menggigit seseorang hingga menyebabkan kematian. Untuk menunjukkan tanggung jawab dan menimbulkan efek jera, si pemilik anjing harus membelikan VAR untuk korban bahkan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan pemakaman jika si korban meninggal.
Apakah warga masyarakat akan mau mengikuti himbauan ini? Perilaku seseorang yang melahirkan suatu keputusan termasuk wilayah hak pribadi. Namun bila keputusan yang orang ambil membahayakan diri sendiri, menjadi tugas pemerintah ikut campur untuk membuatnya lebih aman. Perilaku tidak memakai helm atau sabuk pengaman, misalnya. Kendati perilaku salah itu tidak membahayakan orang lain, pemerintah tetap perlu mewajibkannya. Terlebih apabila perilaku perorangan sampai melanggar kesejahteraan orang lain. Jika himbauan tidak cukup maka hukum memang harus bicara.
Potensi masyarakat berprilaku sehat perlu digalang untuk membangun tanggung jawab umum terhadap kesejahteraan orang lain. Upaya menjadikan suatu wilayah ’bebas rabies’ akan sia-sia bila masih ada tetangga yang tidak ikut program vaksinasi anjingnya.
Di satu sisi, sebagian masyarakat memang mempunyai kesadaran yang rendah (maaf, kalau penilaian saya salah) untuk secara aktif melakukan pencegahan terjadinya wabah rabies, seperti juga masyarakat mempunyai kesadaran rendah untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, atau mematuhi peraturan dan etika berlalu lintas di jalan raya.
Di sisi lain, pemerintah seharusnya menyadari sikap disiplin masyarakat yang rendah sehingga tidak menyandarkan pada upaya himbauan atau penerangan melalui iklan radio dan koran semata. Jangan puas kalau hanya sudah melakukan himbauan atau penyuluhan tentang rabies. Jika kemudian himbauan atau penyuluhan tersebut tidak dipatuhi masyarakat, maka yang disalahkan masyarakat.
Dalam situasi disiplin dan kesadaran masyarakat yang rendah, seharusnya ada upaya yang lebih aktif, termasuk penegakan hukum dari pihak pemerintah. Penegakkan hukum tidak hanya terhadap masyarakat yang melanggar; tetapi juga terhadap pejabat pemerintah sendiri yang sering membiarkan pelanggaran terjadi atau bahkan ikut melakukan pelanggaran.
Bersama Kita Pasti Bisa
Ritual kematian akibat rabies di NTT sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, dan sudah memakan korban ratusan nyawa saudara-saudara kita. Oleh karena itu perlu segera dibuat peraturan daerah (PERDA) tentang upaya penanggulangan rabies yang didalamnya memuat ’aturan main’ memelihara anjing (serta hewan penular rabies lainnya seperti kucing dan kera). Sekali lagi, keterlibatan Dinas Peternakan sangat mutlak diperlukan. Alangkah baiknya, jika PERDA tersebut disusun dan diberlakukan paling tidak di seluruh kabupaten yang berada di wilayah Flores-Lembata.
Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berpendapat, rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.” Demikian diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009.
Kerja sama kesehatan antar kabupaten sangat dimungkinkan di NTT karena memang wadah untuk itu sudah ada, yaitu Badan Kerjasama Kesehatan [BKK] Propinsi NTT. Untuk memudahkan kerjasama NTT dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Tironda [Timor, Alor dan Rote Ndao], Floresta [Flores dan Lembata] dan Sumba. Kesepakatan hasil pertemuan Koordinasi Tim Kajian Teknis (TKT) Badan Kerjasama Kesehatan wilayah Floresta tanggal 20-25 Oktober 2005 di Labuan Bajo, prioritas untuk penyakit Infeksi di Floresta adalah Malaria, Rabies dan Diare. Untuk membuktikan keseriusannya, setiap kabupaten diwajibkan untuk menganggarkan sejumlah dana dalam APBD nya masing-masing guna menanggulangi ketiga penyakit prioritas tersebut.
Nampaknya, pendapat Bupati Nagekeo untuk melakukan gerakan bersama dalam memberantas rabies di NTT harus segera diwujudkan dengan fokus utama pada upaya pencegahan dengan sasaran pada hewan penular rabies utama yaitu anjing. Jika tidak, maka generasi yang akan datang agaknya akan terus dihantui dengan ’kematian sia-sia’ dan belum akan selesai mengeluarkan ongkos untuk biaya sosial yang sebetulnya tidak perlu.
*Asep Purnama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam bertugas di RSUD dr. TC Hillers Maumere