Quantcast
Channel: EBED DE ROSARY
Viewing all 339 articles
Browse latest View live

Bungkam Persap, PSK Pastikan Satu Tempat di Babak Delapan Besar

$
0
0

El Tari Memorial Cup XXVII

MAUMERE, MEDIA NTT – PSK Kota kupang menjadi kesebelasan kedua yang memastikan satu tiket di babak 8 besar setelah sebelumnya PSKN menjadi team pertama yang lolos. Kemenangan yang diraih saat bersua Persap Alor Senin ( 26/10/15 ).Pertandingan yang digelar pukul 14.00 wita di stadion Gelora Samador Maumere ini menjadi bukti bahwa tanpa diperkuat Yabes Roni Malaifani,anak – anak asuhan Alex Parera kehilangan taji.

Pada pertandingan yang dipimpin wasit Fransisko Jari yang dibantu hakim garis Jhoni Pora  dan Boldi Daga, anak – anak bumi Kenari seperti kalah mental saat bersua team favorit Kota Kupang yang turun dengan materi pemain yang dipersiapkan mengikuti PON. Para pemain yang baru saja menjuarai Piala Presiden di Bangka Belitung ini terlihat mulai menggebrak pertahanan Persap sejak menit awal.Bermain cepat mengandalkan kecepatan lari dua pemain sayap Sole Frare dan Kristo Lao yang ditopang Sebastian Daga dan Heri Gara lewat umpan – umpan terobosan dari tengah lapangan.

Hasilnya terlihat saat pertandingan measuki menit ke 17. Para pemain yang turun mengenakan kostum kuning - kuning mampu membuat suporter Persap terdiam.Pergerakan bola dari lapangan tengah jantung pertahanan Alor dimanfaatkan Heri Gara pemain dengan nomor punggung 10 lewat  tendangan keras yang tak mampu diantisipasi kiper Persap,Melkisedek Sanabel. Hanya berselang 3 menit, jala kesebelasan dengan kostum biru – biru kembali bergetar.Samuel Wadu Kaho membuat furustasi anak – anak kenari lwat gol cepatnya.

Memasuki babak kedua, PSK kembali menekan pertahanan lawannya sejak wasit membunyikan peluit.Sebuah peluang yang tercipta gagal dimanfaatkan Sole Frare dimana  sundulannya masih melayang di atas mistar gawang Persap.Alor pun tak mudah menyerah begitu saja.Sebuah umpan terobosan ke dalam kotak pinalti PSK jatuh tepat di kaki Harli Soflanit yang berada persis di mulut gawang tanpa terkawal.Sontekan pelan pemain bernomor punggung 21 ini akhirnya memaksa Frasmus Fahik harus memungut bola yang bersarang di gawangnya.

Gol Harli membangkitkan semangat PSK.Hanya butuh waktu 7 menit bagi anak- anak asuhan Anton Kia menorehkan gol tambahan. Tepatnya di menit ke 60 Alsah Sahda mampu memaksa Melkisedek kembalimemungut bola yang bersarang di gawangnya. Pada babak kedua, Persap mengganti 4 pemain sementara PSK memanfaatkan semua kuota 5 pemain pengganti. Namun Persap Alor yang coba bermain cepat berulang kali serangannya dapat dipatahkan bek PSK dibawah komando kapten David Pramono sebelum bola memasuki garis enam belas. Hingga wasit Fransisko meniup peluit panjang,skor akhir 3 – 1 untuk kemenangan PSK kota Kupang tidak berubah.


Dengan kemenangan ini,PSKmemastikan satu temoat di babak 8 besar menyusul PSKN Kefamenanu TTU yang sehari sebelumnya sudah terlebih dahulu mendapat tiket ke 8 besar.Meski demikian, PSK yang berada di pool 3 bersama dua kesebelasan lainnya yakni Pesebata Lembata dan Perseftim Flores Timur masih menyisakan satu pertandingan lagi melawan Persebata tanggal 2 November nanti.Persap Alor berada di peringkat kedua Pool 3 dengan torehan angka 3 yang didapat saat bersua Lembata di pertandingan awal pool 3. ( ebd )

Ebed de Rosary                     Email : ebedallan@gmail.com

Sisi Lain El Tari Memorial Cup ke XXVII

$
0
0
























Pertandingan sepakbola membuat semua masyarakat NTT sabar membaca dan mendapat informasi terkait hasil pertandingan. Sepakbola kini bukan saja milik kaum Adam saja namun kaum Hawa pun sudah mengakrabi sepakbola dan setia menonton pertandingan di lapangan.
Bagimasyarakat propinsi NTT, ETMC adalah gengsi. Menjuarai turnamen ini memberikan kebanggaan tersendiri.Di tengah kondisi sepakbolaTanah Air yang carut marut, pagelaran ElTari Memrorial Cup ke XXVII tahun2015 yang berlangsung di Stadion Gelora Samador,Maumere,kabupaten Sikka sejak 20 Oktober hingga 13 November 2015 memberikan tontonan menarik dan sekaligus hiburan bagi masyarakat NTT.

Jaya Sepakbola Flores dan NTT


Ebed de Rosary                     Email : ebedallan@gmail.com

Foto Pertandingan PSKK Kupang Melawan Persap Alor

Foto Pertandingan PSN Ngada Melawan Perserond Rote Ndao

$
0
0
El Tari Memroial Cup XVVII




























Line Up Pemain PSN Ngada Saat Melawan Perserond Rote Ndao di El Tari Memrial Cup XXVII

Line Up Pemain PSKK Kupang Saat Melawan Persap Alor di El Tari Memorial Cup XXVII

Nusa Tenggara Timur Bebas Rabies, Bersama Kita Pasti Bisa

$
0
0

Oleh : Asep Purnama

‘Gigitan Anjing Rabies. Valens Ikuti Jejak Patris’, demikian berita utama di halaman depan harian Flores Star edisi 20 Juni 2011 yang menceritakan ganasnya virus rabies yang kembali memakan korban 3 warga Sikka. Tanggal 11 Juni 2011, Lutgardis Due Lete meninggal, seminggu kemudian (17/6/2011) Patris Patar meninggal dunia dan Valens Martino menyusul menghembuskan nafas terakhir akibat terinfeksi virus rabies 2 hari kemudian (19/6/2011). Ketiga anak tidak berdosa tersebut direnggut nyawanya oleh virus rabies hanya dalam waktu sepuluh hari.

Menanggapi kasus rabies tersebut, seperti biasanya, semua pihak terkait mulai rapat, berdiskusi dan berjuang untuk mengadakan vaksin anti rabies (VAR). Terkadang diselingi dengan saling menyalahkan, “Kenapa VAR tidak ada?” atau “Kenapa terlambat dibawa ke rumah sakit?”. Dan tidak terasa, ritual ini sudah berlangsung hampir 15 tahun, sejak masuknya virus rabies ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Flores Timur, untuk pertama kalinya di tahun 1997.  

Saya pernah menuangkan keprihatinan atas banyaknya korban sia-sia akibat ganasnya virus rabies dalam opini yang dimuat di Pos Kupang pada tahun 2005 dengan judul: “NTT Bebas Rabies: Perlu Berapa Korban Nyawa Lagi Untuk Mewujudkannya”. Di opini tersebut saya mengutip pernyataan Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTT saat itu, Ir. M Litik, yang mengatakan bahwa korban tewas akibat gigitan anjing yang tertular virus rabies di NTT selama kurun waktu tahun 1998-2005, mencapai 120 orang.

Jika dikumulatifkan hingga sekarang, korban tewas sia-sia akibat rabies tentu sudah lebih dari 200. Belum cukupkah kita belajar dari kematian ratusan saudara kita selama ini? Butuh berapa korban nyawa lagi agar kita lebih serius menangani rabies di NTT, khususnya di Flores Lembata?. 

Apa yang saya pertanyakan dalam opini diatas sejalan dengan apa yang menjadi kegelisahan sahabat saya,  Frans Anggal. “Sudah satu dasawarsa lebih di Flores, rabies tidak hilang-hilang. Bupati boleh datang dan pergi, DPRD boleh naik dan turun, rabies tetap tinggal di tempat. Sudah begitu banyak pertemuan, lokakarya, program, anggaran, dan kegiatan pemberantasan, rabies tidak beranjak. Pulau Flores sudah menjadi semacam pulau rabies” (Flores Pos edisi 6 Agustus 2009)


Mungkinkah NTT Bebas Rabies

Sebenarnya, pada tahun 2000 pemerintah melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PPM dan PPL sudah mencanangkan ‘Indonesia bebas Rabies 2005’. Jadi, masalah pemberantasan rabies merupakan program nasional, dan sudah direncanakan sejak beberapa tahun yang lalu.

Berdasarkan kriteria Departemen Kesehatan, suatu daerah dikatakan bebas rabies jika daerah tersebut secara histori tidak pernah ditemukan penyakit rabies atau daerah yang tertular rabies akan tetapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.

Apakah propinsi yang dinyatakan tertular rabies seperti NTT, bisa berubah status menjadi daerah bebas rabies? Jawabannya, sangat bisa. Tiga propinsi, yaitu propinsi Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tengah telah membuktikan bahwa dengan kemauan dan usaha keras berbagai pihak suatu daerah bisa bebas dari rabies. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.892/Kpts/TN.560/9/97 tanggal 9 September 1997, menjadi bukti bahwa ketiga propinsi yang awalnya masuk dalam kategori tertular rabies, akhirnya dinyatakan bebas rabies.

Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati

Opini saya yang kedua dimuat di Flores Pos dengan judul:”  Pemadam Kebakaran yang Kehabisan Air: Penanggulangan Rabies di NTT “.Disini saya menceritakan kebiasaan kita dalam upaya menyikapi gigitan anjing rabies. Jika ada masyarakat yang digigit anjing rabies maka pemerintah harus segera mengobati, harus segera disiapkan VAR untuk menyelamatkan sang ’korban’. Tetapi kenyataan yang terjadi selama ini, beberapa kali kita baca di media massa, kekosongan VAR manakala diperlukan korban gigitan anjing.

Kenapa kita fokus pada upaya vaksinansi manusia bukan vaksinasi anjing yang jauh lebih murah?. Vaksinasi manusia dengan VAR memerlukan biaya Rp. 700.000, 00 sedangkan vaksinasi anjing hanya memerlukan biaya Rp. 5.000,00. Apakah anggaran pemerintah kita cukup untuk pengadaan VAR secara rutin? Apakah dengan berfokus pada upaya mengobati dan menyediakan VAR, masalah rabies di Flores-Lembata (Floresta) akan bisa diselesaikan?

Bagi masyarakat Floresta umumnya anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar seperti kera, babi hutan, musang dan tikus. Anjing mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena disamping sebagai penjaga rumah dan kebun, anjing juga dijadikan santapan yang lezat di restoran dan warung-warung setempat. Anjing bagi masyarakat Floresta juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hampir semua rumah tangga memiliki anjing.
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) perbandingan jumlah anjing dengan jumlah penduduk yang ideal adalah 1:16. Artinya setiap 16 penduduk terdapat satu ekor anjing. Menurut Ewaldus Wera (2001), kepadatan jumlah anjing di Floresta sangat tinggi yaitu 1:3, dimana jumlah anjing mencapai kurang lebih 618.560 ekor sedangkan jumlah penduduknya hanya 1,8 juta jiwa.
Pada kasus rabies di negara kita, khususnya di Flores-Lembata, jelas bahwa anjing memegang peranan sangat penting sebagai hewan penular rabies (HPR). Sementara, untuk dapat mengenal apakah seekor anjing sudah tertular rabies atau belum, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan.  Dikatakan anjing sudah tertular rabies jika takut terhadap cahaya, suara atau bunyi-bunyian dan takut terhadap air serta menggigit semua yang ada disekitarnya. Tetapi hal tersebut tidak selalu didapati pada semua anjing yang tertular rabies. Deteksi secara pasti hanya dapat dilakukan dengan mengambil jaringan otak hewan tersebut.

Ini dilakukan karena pertama; untuk mengenali apakah seekor anjing sudah tertular rabies tidak mudah. Kedua; adanya masa inkubasi yang tidak menampakkan gejala, membuat banyak orang tidak segera datang berobat setelah digigit anjing. Mereka menganggap (baca: berharap) anjing yang menggigit mereka belum tertular rabies dan ini didukung dari tidak adanya gejala yang serius pada dirinya, padahal bisa saja gejala yang belum muncul itu karena mereka masih dalam masa inkubasi. Ketidaktahuan ini menyebabkan mereka datang berobat jika sudah bergejala dan biasanya sudah terlambat, dimana virus telah berinvestasi pada susunan saraf pusat, dan berakibat fatal. Jika sudah demikian, maka pertolongan apapun, termasuk dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR), hasilnya akan sama, yaitu kematian.

Saat ini dunia kedokteran belum mampu untuk memberikan pengobatan penderita rabies dengan manifestasi klinis berupa takut terhadap air, udara, maupun cahaya. Sementara, pemberian vaksinasi pada korban gigitan anjing rabies juga sangat mahal, sebesar Rp. 700.000,00.

Kita ambil contoh situasi di Kabupaten Sikka. Pada tahun 2010 terjadi 1325 kasus gigitan anjing. Kalau semua kasus tersebut harus divaksin maka diperlukan biaya untuk pembelian VAR sebesar Rp. Rp. 927.500.000,00 [1325 x Rp. 700.000,00]. Sementara anggaran keseluruhan untuk pemberantasan penyakit infeksi [Program P2PM-Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular] di Kabupaten Sikka tahun 2011 hanya sebesar Rp. 633.987.050,00. Jika kita anggap jumlah kasus gigitan anjing pada tahun 2011 sama dengan jumlah kasus gigitan anjing pada tahun 2010 dan kita hanya fokus pada pengadaan VAR, maka seluruh total anggaran P2PM ternyata tidak cukup untuk membeli VAR. Padahal Program P2PM tidak hanya mengurus rabies, masih banyak penyakit infeksi lain yang ada di bumi Sikka yang harus ditanggulangi  seperti Malaria, Frambusia, Tuberkulosa, HIV/AIDS, Anthrax, Kusta, Filariasis, Diare dan lain sebagainya.

Melihat permasalahan pengobatan dan pemberian VAR yang sangat pelik, sangat bijaksana jika kita sebaiknya lebih fokus ke upaya pencegahan. Sudah tidak jamannya lagi kita bertindak reaktif ala petugas pemadam kebakaran. Ada warga yang tergigit anjing rabies, baru kita kebingungan untuk mengupayakan pengobatan dan vaksin anti rabies (VAR) gratis. Sementara Pemerintah yang diharapkan untuk menyiapkan VAR tidak sanggup menyediakan karena anggaran yang ada tidak hanya untuk menanggulangi rabies semata. ”Kesulitan” Pemerintah menyiapkan VAR yang mahal tersebut bisa kita ketahui secara sederhana dari berita di berbagai media massa akan kelangkaan VAR manakala ada korban gigitan anjing di wilayah Flores dan Lembata.  

Perlu Upaya Penegakan Hukum

Untuk upaya pencegahan selain partisipasi masyarakat, tentu Dinas Peternakan yang akan berperan utama karena lebih banyak berurusan dengan hewan penular rabies. Langkah pertama untuk menyukseskan program pencegahan, setiap pemilik anjing dilarang melepas anjingnya tanpa kendali. Silahkan mengajak anjing jalan-jalan, tapi harus didampingi. Kalau tidak mau mendampingi, harap diberi penutup moncong supaya tidak bisa menggigit. Kalau tidak mau mendampingi dan tidak mau memasang penutup moncong, biarkan anjing tersebut berada di rumah saja. Bagaimana mungkin seekor anjing didampingi atau diberi penutup moncong, padahal si anjing tersebut diberi tugas untuk menjaga kebun?

Jika seekor anjing akan dilepas untuk menjaga kebun, maka sang pemilik anjing harus memvaksin anjingnya tanpa terkecuali. Kalau tidak mau memvaksin, disarankan untuk tidak memelihara anjing. Inilah bentuk tanggung jawab masyarakat dalam upaya mewujudkan Flores Lembata bebas rabies.

Sebaiknya setiap anjing mempunyai identitas, siapa pemiliknya dan apakah sudah divaksin atau belum. Identitas tersebut digantungkan pada leher si anjing. Dinas Peternakan bisa ditunjuk sebagai instansi yang mempunyai otoritas memberikan identitas tersebut. Jika seekor anjing tidak beridentitas, maka boleh untuk dimusnahkan warga demi keamanan bersama. Seorang pemilik anjing yang karena keteledorannya, misalnya anjingnya tidak divaksin rabies, layak mendapatkan hukuman setimpal jika anjingnya menggigit seseorang hingga menyebabkan kematian. Untuk menunjukkan tanggung jawab dan menimbulkan efek jera, si pemilik anjing harus membelikan VAR untuk korban bahkan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan pemakaman jika si korban meninggal.

Apakah warga masyarakat akan mau mengikuti himbauan ini? Perilaku seseorang yang melahirkan suatu keputusan termasuk wilayah hak pribadi. Namun bila keputusan yang orang ambil membahayakan diri sendiri, menjadi tugas pemerintah ikut campur untuk membuatnya lebih aman. Perilaku tidak memakai helm atau sabuk pengaman, misalnya. Kendati perilaku salah itu tidak membahayakan orang lain, pemerintah tetap perlu mewajibkannya. Terlebih apabila perilaku perorangan sampai melanggar kesejahteraan orang lain. Jika himbauan tidak cukup maka hukum memang harus bicara.

Potensi masyarakat berprilaku sehat perlu digalang untuk membangun tanggung jawab umum terhadap kesejahteraan orang lain. Upaya menjadikan suatu wilayah ’bebas rabies’ akan sia-sia bila masih ada tetangga yang tidak ikut program vaksinasi anjingnya. 

Di satu sisi, sebagian masyarakat memang mempunyai kesadaran yang rendah (maaf, kalau penilaian saya salah) untuk secara aktif melakukan pencegahan terjadinya wabah rabies, seperti juga masyarakat mempunyai kesadaran rendah untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, atau mematuhi peraturan dan etika berlalu lintas di jalan raya.  

Di sisi lain, pemerintah seharusnya menyadari sikap disiplin masyarakat yang rendah sehingga tidak menyandarkan pada upaya himbauan atau penerangan melalui iklan radio dan koran semata. Jangan puas kalau hanya sudah melakukan himbauan atau penyuluhan tentang rabies. Jika kemudian himbauan atau penyuluhan tersebut tidak dipatuhi masyarakat, maka yang disalahkan masyarakat. 

Dalam situasi disiplin dan kesadaran masyarakat yang rendah, seharusnya ada upaya yang lebih aktif, termasuk penegakan hukum dari pihak pemerintah. Penegakkan hukum tidak hanya terhadap masyarakat yang melanggar; tetapi juga terhadap pejabat pemerintah sendiri yang sering membiarkan pelanggaran terjadi atau bahkan ikut melakukan pelanggaran.

Bersama Kita Pasti Bisa

Ritual kematian akibat rabies di NTT sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, dan sudah memakan korban ratusan nyawa saudara-saudara kita. Oleh karena itu perlu segera dibuat peraturan daerah (PERDA) tentang upaya penanggulangan rabies yang didalamnya memuat ’aturan main’ memelihara anjing (serta hewan penular rabies lainnya seperti kucing dan kera). Sekali lagi, keterlibatan Dinas Peternakan sangat mutlak diperlukan. Alangkah baiknya, jika PERDA tersebut disusun dan diberlakukan paling tidak di seluruh kabupaten yang berada di wilayah Flores-Lembata.

Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berpendapat, rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.” Demikian diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009.

Kerja sama kesehatan antar kabupaten sangat dimungkinkan di NTT karena memang wadah untuk itu sudah ada, yaitu Badan Kerjasama Kesehatan [BKK] Propinsi NTT. Untuk memudahkan kerjasama NTT dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Tironda [Timor, Alor dan Rote Ndao], Floresta [Flores dan Lembata] dan Sumba. Kesepakatan hasil pertemuan Koordinasi Tim Kajian Teknis (TKT) Badan Kerjasama Kesehatan wilayah Floresta tanggal 20-25 Oktober 2005 di Labuan Bajo, prioritas untuk penyakit Infeksi di Floresta adalah Malaria, Rabies dan Diare. Untuk membuktikan keseriusannya, setiap kabupaten diwajibkan untuk menganggarkan sejumlah dana dalam APBD nya masing-masing guna menanggulangi ketiga penyakit prioritas tersebut.

Nampaknya, pendapat Bupati Nagekeo untuk melakukan gerakan bersama dalam memberantas rabies di NTT harus segera diwujudkan dengan fokus utama pada upaya pencegahan dengan sasaran pada hewan penular rabies utama yaitu anjing. Jika tidak, maka generasi yang akan datang agaknya akan terus dihantui dengan ’kematian sia-sia’ dan belum akan selesai mengeluarkan ongkos untuk biaya sosial yang sebetulnya tidak perlu.

 
*Asep Purnama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam bertugas di RSUD dr. TC Hillers Maumere





Pemadam Kebakaran Yang Kehabisan Air ,Penanggulangan Rabies di Nusa Tenggara Timur

$
0
0

Oleh : Asep Purnama*

‘Sembilan Korban Gigitan Anjing, Positif  Rabies’, demikian berita utama di halaman depan harian Flores Pos edisi 22 Agustus 2008 yang menceritakan 9 orang korban gigitan anjing pada bulan Juli 2008 di kelurahan Larantuka dan desa Tanawahang, Kecamatan Titehana dinyatakan positif tertular virus rabies.

Dua hari sebelumnya, tepatnya 20 Agustus 2008, harian yang sama menurunkan laporan di halaman depan berjudul ‘Gigitan Anjing Rabies Kembali Makan Korban’. Kali ini korbannya seorang bocah di kampung Wae Kesambi, Desa Batu Cermin Labuan Bajo.

Kemudian berita ‘rutin’ seputar Rabies berlanjut juga di harian Pos Kupang. “Penanggulangan Rabies di Flores Gagal”, demikian berita utama PK edisi 22 Agustus 2008 yang mengungkapkan penilaian drh. Maria Geong, Ph.D bahwa penanggulangan penyakit rabies di pulau Flores sesungguhnya gagal. Lebih lanjut, Kasubdin Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Propinsi NTT tersebut, menegaskan bahwa penyebab utama kegagalan penanggulangan rabies terletak pada sikap ego para pimpinan wilayah di daratan Flores.

Menanggapi kasus rabies tersebut, seperti biasanya, semua pihak terkait mulai rapat, berdiskusi dan berjuang untuk mengadakan vaksin anti rabies (VAR). Terkadang diselingi dengan saling menyalahkan, “Kenapa VAR tidak ada?” atau “Kenapa terlambat dibawa ke rumah sakit?”.  ‘Salam’  Pos Kupang tertanggal 22 Agustus 2008 mengulas ritual yang sama,  ada masyarakat yang digigit anjing rabies maka pemerintah harus segera mengobati, harus segera disiapkan VAR untuk menyelamatkan sang ’korban’.

Pencegahan Diutamakan

Sebaiknya setiap anjing mempunyai identitas, siapa pemiliknya dan apakah sudah divaksin atau belum. Identitas tersebut digantungkan pada leher si anjing. Dinas Peternakan bisa ditunjuk sebagai instansi yang mempunyai otoritas memberikan identitas tersebut. Jika seekor anjing tidak beridentitas, maka boleh untuk dimusnahkan warga demi keamanan bersama. Seorang pemilik anjing yang karena keteledorannya, misalnya anjingnya tidak divaksin rabies, layak mendapatkan hukuman setimpal jika anjingnya menggigit seseorang hingga menyebabkan kematian.

Dalam penanggulangan rabies, upaya pencegahan-lah yang diutamakan, bukan pengobatan. Dan fokus upaya pencegahan adalah tidak terjadinya gigitan oleh anjing rabies. Sudah tidak jamannya lagi kita bertindak reaktif ala petugas pemadam kebakaran. Ada warga yang tergigit anjing rabies, baru kita kebingungan untuk mengupayakan pengobatan dan vaksin anti rabies (VAR) gratis. Sementara kita sangat paham bahwa upaya pengobatan sangat tidak efektif dan lebih mahal. Mahalnya pengobatan rabies bisa kita ketahui secara sederhana dari berita di berbagai media massa akan kelangkaan VAR setiap kali ada korban gigitan anjing di wilayah Flores dan Lembata. Pemerintah tidak sanggup secara berkesinambungan untuk menyediakan vaksin rabies. Jadi apa yang kita lakukan sekarang laksana ”petugas pemadam kebakaran yang kehabisan air” (baca: VAR). ”Apakah api bisa dipadamkan?” 

Jika akhirnya sang korban gigitan anjing rabies tewas dan anjingnya dibunuh, apakah masalahnya sudah akan berakhir? Apa kemungkinan akan muncul korban baru lagi? Atau dengan kata lain, ”Apakah kebakaran bisa terulang kembali di kemudian hari?”

Seperti yang dimuat dalam Pos Kupang edisi 7 Juli 2005, Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTT saat itu, Ir. M Litik, mengatakan bahwa korban tewas akibat gigitan anjing yang tertular virus rabies di NTT selama kurun waktu tahun 1988-2005, mencapai 120 orang.

Jadi ritual kematian akibat rabies di NTT berjalan paling tidak sudah 20 tahun, dan sudah memakan korban lebih dari 120 orang saudara-saudara kita. Oleh karena itu perlu segera dibuat peraturan daerah (PERDA) tentang upaya penanggulangan rabies yang didalamnya memuat ’aturan main’ memelihara anjing (serta kucing dan kera). Alangkah baiknya, jika PERDA tersebut disusun dan diberlakukan paling tidak di seluruh kabupaten yang berada di wilayah Flores-Lembata.

Selama tidak ada upaya pemberantasan rabies yang terkonsep, terencana, dilaksanakan secara sistematik dan melibatkan seluruh kabupaten secara serentak, generasi yang akan datang agaknya akan terus dihantui dengan ’kematian sia-sia’ dan belum akan selesai mengeluarkan ongkos untuk biaya sosial yang sebetulnya tidak perlu. Belum cukupkah kita belajar selama 20 tahun dari kematian 120 saudara kita selama ini? Butuh berapa korban nyawa lagi agar kita lebih serius menangani rabies di propinsi NTT (baca: Flores-Lembata)?. 


Asep Purnama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam bertugas di RSUD dr. TC Hillers Maumere
*Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sikka, NTT






Penaggulangan Rabies di Flores dan Lembata Benarkah VAR Solusi Utamanya?

$
0
0

Oleh : dr.Asep Purnama, Sp.PD

Tanggal 6 Agustus 2009, BENTARA Flores Pos memuat ulasan  tentang rabies di Flores dengan judul “Rabies dan Perbuatan Iblis: Satu Dasawarsa lebih Rabies di Flores”. Merasa belum cukup, 8 hari kemudian, BENTARA Flores Pos edisi 14 Agustus 2009 kembali hadir dengan topik “VAR: Mari Pelototi APBD. Habisnya Persediaan VAR di Ngada”.

Saya sangat memahami “kegundahan” sang penulis BENTARA, Frans Anggal, karena saya juga pernah mengalami keprihatinan yang mendalam tentang ketidakpedulian kita semua akan penanggulangan rabies di Flores Lembata [Floresta].

Saya menuangkan keprihatinan dalam opini yang dimuat di Pos Kupang pada tahun 2005 dengan judul: “NTT Bebas Rabies: Perlu Berapa Korban Nyawa Lagi Untuk Mewujudkannya”. Di opini tersebut saya mengutip pernyataan Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTT saat itu, Ir. M Litik, yang mengatakan bahwa korban tewas akibat gigitan anjing yang tertular virus rabies di NTT selama kurun waktu tahun 1998-2005, mencapai 120 orang.

Jika dikumulatifkan hingga tahun 2009, korban tewas sia-sia akibat rabies barangkali sudah lebih dari 200. Belum cukupkah kita belajar dari kematian ratusan saudara kita selama ini? Butuh berapa korban nyawa lagi agar kita lebih serius menangani rabies di propinsi NTT?. 

Apa yang saya pertanyakan dalam opini diatas sejalan dengan apa yang menjadi kebingungan sahabat saya,  Frans Anggal. “Sudah satu dasawarsa lebih di Flores, rabies tidak hilang-hilang. Bupati boleh datang dan pergi, DPRD boleh naik dan turun, rabies tetap tinggal di tempat. Sudah begitu banyak pertemuan, lokakarya, program, anggaran, dan kegiatan pemberantasan, rabies tidak beranjak. Pulau Flores sudah menjadi semacam pulau rabies”.

MUNGKINKAH NTT BEBAS RABIES?

Sebenarnya, pada tahun 2000 pemerintah melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PPM dan PPL sudah mencanangkan ‘Indonesia bebas Rabies 2005’. Jadi, masalah pemberantasan rabies merupakan program nasional, dan sudah direncanakan sejak beberapa tahun yang lalu.

Berdasarkan kriteria Departemen Kesehatan, suatu daerah dikatakan bebas rabies jika daerah tersebut secara histori tidak pernah ditemukan penyakit rabies atau daerah yang tertular rabies akan tetapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.

Apakah propinsi yang dinyatakan tertular rabies seperti NTT, bisa berubah status menjadi daerah bebas rabies? Jawabannya, sangat bisa. Tiga propinsi, yaitu propinsi Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tengah telah membuktikan bahwa dengan kemauan dan usaha keras berbagai pihak suatu daerah bisa bebas dari rabies. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.892/Kpts/TN.560/9/97 tanggal 9 September 1997, menjadi bukti bahwa ketiga propinsi yang awalnya masuk dalam kategori tertular rabies, akhirnya dinyatakan bebas rabies.

LEBIH BAIK MENCEGAH DARIPADA MENGOBATI

Opini saya yang kedua dimuat di Flores Pos dengan judul: Pemadam Kebakaran yang Kehabisan Air: Penanggulangan Rabies di NTT. Disini saya menceritakan kebiasaan kita dalam upaya menyikapi kematian akibat gigitan anjing rabies. Biasanya semua pihak terkait mulai rapat, berdiskusi dan berjuang untuk mengadakan vaksin anti rabies (VAR). Terkadang diselingi dengan saling menyalahkan, “Kenapa VAR tidak ada?” atau “Kenapa terlambat dibawa ke rumah sakit?”.  ‘Bentara’  Flores Pos tertanggal 16 Agustus 2009 mengulas ritual yang sama,  ada masyarakat yang digigit anjing rabies maka pemerintah harus segera mengobati, harus segera disiapkan VAR untuk menyelamatkan sang ’korban’. Apakah dengan mengobati dan menyediakan VAR, masalah rabies di Flores-Lembata akan bisa diselesaikan?

Bagi masyarakat Floresta umumnya anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar seperti kera, babi hutan, musang dan tikus. Anjing mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena disamping sebagai penjaga rumah dan kebun, anjing juga dijadikan santapan yang lezat di restoran dan warung-warung setempat. Anjing bagi masyarakat Floresta juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hampir semua rumah tangga memiliki anjing.

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) perbandingan jumlah anjing dengan jumlah penduduk yang ideal adalah 1:16. Artinya setiap 16 penduduk terdapat satu ekor anjing. Menurut Ewaldus Wera (2001), kepadatan jumlah anjing di Floresta sangat tinggi yaitu 1:3, dimana jumlah anjing mencapai kurang lebih 618.560 ekor sedangkan jumlah penduduknya hanya 1,8 juta jiwa.

Pada kasus rabies di negara kita, khususnya di Flores-Lembata, jelas bahwa anjing memegang peranan sangat penting sebagai hewan penular rabies (HPR). Sementara, untuk dapat mengenal apakah seekor anjing sudah tertular rabies atau belum, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan.  Dikatakan anjing sudah tertular rabies jika takut terhadap cahaya, suara atau bunyi-bunyian dan takut terhadap air serta menggigit semua yang ada disekitarnya. Tetapi hal tersebut tidak selalu didapati pada semua anjing yang tertular rabies. Deteksi secara pasti hanya dapat dilakukan dengan mengambil jaringan otak hewan tersebut.

Karena (1) untuk mengenali apakah seekor anjing sudah tertular rabies tidak mudah dan (2) adanya masa inkubasi yang tidak menampakkan gejala, membuat banyak orang tidak segera datang berobat setelah digigit anjing. Mereka menganggap (baca: berharap) anjing yang menggigit mereka belum tertular rabies dan ini didukung dari tidak adanya gejala yang serius pada dirinya, padahal bisa saja gejala yang belum muncul itu karena mereka masih dalam masa inkubasi. Ketidaktahuan ini menyebabkan mereka datang berobat jika sudah bergejala dan biasanya sudah terlambat, dimana virus telah berinvestasi pada susunan saraf pusat, dan berakibat fatal. Jika sudah demikian, maka pertolongan apapun, termasuk dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR), hasilnya akan sama, yaitu kematian.

Jadi untuk memberikan pengobatan penderita rabies, apalagi jika datang dalam keadaan sudah parah, tidak semudah yang kita bayangkan. Selain tidak mudah, ternyata pengobatan rabies juga sangat mahal. Harga vaksin rabies untuk manusia (baca: VAR) sekitar Rp. 175.000 per vial. Untuk manusia yang tergigit anjing diperlukan 4 vial untuk vaksinasi, yang berarti biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap gigitan anjing yang dicurigai rabies adalah sebesar Rp. 700.000,00.

Kita ambil contoh situasi di Kabupaten Sikka. Pada tahun 2006 terjadi 1022 kasus gigitan anjing. Kalau semua kasus tersebut harus divaksin maka diperlukan biaya untuk pembelian VAR sebesar Rp.715.400.000,00 [1022 x Rp. 700.000,00]. Untuk tahun 2009 hingga bulan Juli 2009, terjadi 615 gigitan. Bisa diperkirakan hingga akhir tahun 2009 akan terjadi 1054 [12/7 x 615] kasus gigitan. Biaya yang diperlukan Kabupaten Sikka membeli VAR untuk vaksinasi rabies sebesar Rp.737.800.000,00 [1054 x Rp. 700.000,00]. 

Sementara anggaran keseluruhan untuk pemberantasan penyakit infeksi [P2PL Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan] di Kabupaten Sikka tahun 2009 hanya sebesar Rp.747.000.000,00. Jika benar kita fokus pada pengadaan VAR, maka anggaran P2PL hanya akan tersisa sekitar sepuluh juta [Rp. 747.000.000 – Rp. 737.800.000] untuk penanggulangan berbagai penyakit infeksi lain yang ada di bumi Sikka  seperti Malaria, Frambusia, Tuberkulosa, HIV/AIDS, Anthrax, Kusta, Filariasis, Diare dan lain sebagainya.

Melihat permasalahan pengobatan yang sangat pelik, sangat bijaksana jika kita sebaiknya lebih fokus ke upaya pencegahan. Sudah tidak jamannya lagi kita bertindak reaktif ala petugas pemadam kebakaran. Ada warga yang tergigit anjing rabies, baru kita kebingungan untuk mengupayakan pengobatan dan vaksin anti rabies (VAR) gratis. Sementara Pemerintah yang diharapkan untuk menyiapkan VAR tidak sanggup menyediakan karena anggaran yang ada tidak hanya untuk menanggulangi rabies semata. Ketidaksanggupan Pemerintah menyiapkan VAR yang mahal tersebut bisa kita ketahui secara sederhana dari berita di berbagai media massa akan kelangkaan VAR setiap kali ada korban gigitan anjing di wilayah Flores dan Lembata.

PERLU UPAYA PENEGAKKAN HUKUM

Untuk upaya pencegahan selain partisipasi masyarakat, tentu Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan [d/h Dinas Peternakan] yang akan berperan utama karena lebih banyak berurusan dengan hewan penular rabies. Langkah pertama untuk menyukseskan program pencegahan, setiap pemilik anjing dilarang melepas anjingnya tanpa kendali. Silahkan mengajak anjing jalan-jalan, tapi harus didampingi. Kalau tidak mau mendampingi, harap diberi penutup moncong supaya tidak bisa menggigit. Kalau tidak mau mendampingi dan tidak mau memasang penutup moncong, biarkan anjing tersebut berada di rumah saja. Bagaimana mungkin seekor anjing didampingi atau diberi penutup moncong, padahal si anjing tersebut diberi tugas untuk menjaga kebun?

Jika seekor anjing akan dilepas untuk menjaga kebun, maka sang pemilik anjing harus memvaksin anjingnya tanpa terkecuali. Kalau tidak mau memvaksin, disarankan untuk tidak memelihara anjing. Inilah bentuk tanggung jawab masyarakat dalam upaya mewujudkan NTT bebas rabies.

Sebaiknya setiap anjing mempunyai identitas, siapa pemiliknya dan apakah sudah divaksin atau belum. Identitas tersebut digantungkan pada leher si anjing. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan bisa ditunjuk sebagai instansi yang mempunyai otoritas memberikan identitas tersebut. Jika seekor anjing tidak beridentitas, maka boleh untuk dimusnahkan warga demi keamanan bersama. Seorang pemilik anjing yang karena keteledorannya, misalnya anjingnya tidak divaksin rabies, layak mendapatkan hukuman setimpal jika anjingnya menggigit seseorang hingga menyebabkan kematian. Untuk menunjukkan tanggung jawab dan menimbulkan efek jera, si pemilik anjing harus membelikan VAR untuk korban bahkan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan pemakaman jika si korban meninggal.

Apakah warga masyarakat akan mau mengikuti himbauan ini? Perilaku seseorang yang melahirkan suatu keputusan termasuk wilayah hak pribadi. Namun bila keputusan yang orang ambil membahayakan diri sendiri, menjadi tugas pemerintah ikut campur untuk membuatnya lebih aman. Perilaku tidak memakai helm atau sabuk pengaman, misalnya. Kendati perilaku salah itu tidak membahayakan orang lain, pemerintah tetap perlu mewajibkannya. Terlebih apabila perilaku perorangan sampai melanggar kesejahteraan orang lain. Jika himbauan tidak cukup maka hukum memang harus bicara. 

Potensi masyarakat berprilaku sehat perlu digalang untuk membangun tanggung jawab umum terhadap kesejahteraan orang lain. Upaya menjadikan suatu wilayah ’bebas rabies’ akan sia-sia bila masih ada tetangga yang tidak ikut program vaksinasi anjingnya. 


Di satu sisi, sebagian masyarakat memang mempunyai kesadaran yang rendah (maaf, kalau penilaian saya salah) untuk secara aktif melakukan pencegahan terjadinya wabah rabies, seperti juga masyarakat mempunyai kesadaran rendah untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, atau mematuhi peraturan dan etika berlalu lintas di jalan raya.  

Di sisi lain, pemerintah seharusnya menyadari sikap disiplin masyarakat yang rendah sehingga tidak menyandarkan pada upaya himbauan atau penerangan melalui iklan radio dan koran semata. Jangan puas kalau hanya sudah melakukan himbauan atau penyuluhan tentang rabies. Jika kemudian himbauan atau penyuluhan tersebut tidak dipatuhi masyarakat, maka yang disalahkan masyarakat. 

Dalam situasi disiplin dan kesadaran masyarakat yang rendah, seharusnya ada upaya yang lebih aktif, termasuk penegakan hukum dari pihak pemerintah. Penegakkan hukum tidak hanya terhadap masyarakat yang melanggar; tetapi juga terhadap pejabat pemerintah sendiri yang sering membiarkan pelanggaran terjadi atau bahkan ikut melakukan pelanggaran. 

BERSAMA KITA BISA
Ritual kematian akibat rabies di NTT sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, dan sudah memakan korban ratusan nyawa saudara-saudara kita. Oleh karena itu perlu segera dibuat peraturan daerah (PERDA) tentang upaya penanggulangan rabies yang didalamnya memuat ’aturan main’ memelihara anjing (serta hewan penular rabies lainnya seperti kucing dan kera). Sekali lagi, Keterlibatan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan sangat mutlak diperlukan. Alangkah baiknya, jika PERDA tersebut disusun dan diberlakukan paling tidak di seluruh kabupaten yang berada di wilayah Flores-Lembata.

Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berpendapat, rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.” Demikian diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009.

Kerja sama kesehatan antar kabupaten sangat dimungkinkan di NTT karena memang wadah untuk itu sudah ada, yaitu Badan Kerjasama Kesehatan [BKK] Propinsi NTT. Untuk memudahkan kerjasama NTT dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Tironda [Timor, Alor dan Rote Ndao], Floresta [Flores dan Lembata] dan Sumba. Kesepakatan hasil pertemuan Koordinasi Tim Kajian Teknis (TKT) Badan Kerjasama Kesehatan wilayah Floresta tanggal 20-25 Oktober 2005 di Labuan Bajo, prioritas untuk penyakit Infeksi di Floresta adalah Malaria, Rabies dan Diare. Untuk membuktikan keseriusannya, setiap kabupaten diwajibkan untuk menganggarkan sejumlah dana dalam APBD nya masing-masing guna menanggulangi ketiga penyakit prioritas tersebut.

Selama tidak ada upaya pemberantasan rabies yang terkonsep, terencana, dilaksanakan secara sistematik dan melibatkan semua pihak terkait di seluruh kabupaten secara serentak, maka generasi yang akan datang agaknya akan terus dihantui dengan ’kematian sia-sia’ dan belum akan selesai mengeluarkan ongkos untuk biaya sosial yang sebetulnya tidak perlu.



Asep Purnama, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Sikka

*Asep Purnama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam bertugas di RSUD dr. TC Hillers Maumere





PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR BEBAS RABIES, Perlu berapa korban nyawa lagi untuk mewujudkannya?

$
0
0

Asep Purnama, dr. Sp.PD

Berita tentang tingginya kasus malaria dan TBC di Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai meredup, meskipun kenyataan di lapangan masih banyak saudara-saudara kita yang direnggut nyawanya oleh ulah kedua penyakit tersebut. Tidak mau ketinggalan dengan ’teman-teman’ nya yang lain (baca: malaria dan TBC), virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) ikut-ikutan hadir di propinsi kita tercinta. Dalam waktu tidak lebih dari 2 bulan, kembali 4 saudara kita meninggal di RSUD dr TC Hillers-Maumere akibat ulah virus yang sebenarnya bisa dicegah ini. Masalah kesehatan kita ternyata tidak selesai sampai disini, berita utama berbagai media beberapa bulan belakangan mengulas tentang busung lapar di negeri ini, dan lagi-lagi kita, warga Flobamora, ikut berperan serta menjadi salah satu korban salah gizi tersebut. 

Terlalu banyaknya masalah kesehatan di NTT, diikuti dengan banyaknya saudara kita yang menjadi korban membuat kita ‘santai-santai’ saja mendengar berita kematian beberapa saudara kita akibat virus rabies. Pos Kupang edisi 7 Juli 2005 melaporkan, dalam waktu kurang dari 2 bulan (Juni-Juli 2005), 4 saudara kita tewas sia-sia akibat gigitan anjing rabies. Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTT, Ir. M Litik, mengatakan bahwa korban tewas akibat gigitan anjing yang tertular virus rabies di NTT selama kurun waktu tahun 1988-2005, mencapai 120 orang.  

Menurut Maria Geong, Kasubdin Kesehatan Hewan Dinas Peternakan NTT kepada Tempointeraktif 14 Juni 2005, sejak Januari 2005, terdapat 528 kasus gigitan anjing rabies di daratan Flores dan Lembata. Dan diperkirakan sebanyak 50 ribu dari 200 ribu anjing di wilayah ini belum divaksin rabies. Jadi, sangat mungkin korban akibat gigitan anjing rabies akan terus bertambah di kemudian hari. Upaya apa saja yang sudah kita lakukan sejak tahun 1988, saat wabah rabies muncul di kabupaten Flores Timur? Sudahkah kita mempunyai upaya pemberantasan rabies yang terkonsep, terencana, dan dilaksanakan secara sistematik? Belum cukupkah kita belajar dari kematian 120 saudara kita selama ini? Butuh berapa korban nyawa lagi agar kita lebih serius menangani rabies di propinsi NTT (baca: Flores-Lembata)?. 

APA MUNGKIN SUATU DAERAH DINYATAKAN BEBAS RABIES?

Sebenarnya, pada tahun 2000 pemerintah melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PPM dan PPL sudah mencanangkan ‘Indonesia bebas Rabies 2005’. Jadi, masalah pemberantasan rabies merupakan program nasional, dan sudah direncanakan sejak beberapa tahun yang lalu.

Berdasarkan kriteria Departemen Kesehatan, suatu daerah dikatakan bebas rabies jika daerah tersebut secara histori tidak pernah ditemukan penyakit rabies atau daerah yang tertular rabies akan tetapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris. Sampai saat ini terdapat 5 Propinsi yang dinyatakan tetap bebas rabies yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua, dan Kalimantan Barat.

Apakah daerah yang dinyatakan tertular rabies seperti NTT, bisa berubah status menjadi daerah bebas rabies? Jawabannya, sangat bisa. Tiga propinsi, yaitu propinsi Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tengah telah membuktikan bahwa dengan kemauan dan usaha keras berbagai pihak suatu daerah bisa bebas dari rabies. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.892/Kpts/TN.560/9/97 tanggal 9 September 1997, menjadi bukti bahwa ketiga propinsi yang awalnya masuk dalam kategori tertular rabies, akhirnya dinyatakan bebas rabies.

NTT dinyatakan sebagai daerah tertular rabies pada tahun 1998 sejak terjadinya wabah rabies di Kabupaten FloresTimur. Dan bukanlah sebuah khayalan jika suatu saat NTT akan berubah status menjadi daerah bebas rabies. Tiga propinsi telah berhasil membuktikannya, dan kita warga NTT juga pasti bisa mewujudkan ‘NTT bebas rabies’ asal kita mempunyai kemauan dan berusaha dengan keras.

BILAMANA SESEORANG TERKENA VIRUS RABIES

Rabies adalah infeksi susunan saraf pusat yang sifatnya akut, disebabkan oleh  oleh virus Rabies. Rabies merupakan penyakit menular yang mematikan. Virus Rabies berdomisili pada semua jenis hewan menyusui, tidak hanya pada hewan jenis anjing saja. Di Amerika, Virus Rabies dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan hewan sebagai sumber penularannya. Pertama, Urban Rabies, virus tersebut ditemukan pada anjing atau kucing peliharaan yang belum mendapatkan vaksinasi rabies. Kedua, Sylvatic Rabies, virus terdapat pada hewan liar seperti kelelawar, anjing hutan, kera, srigala, musang, dll. Hewan peliharaan bisa terinfeksi rabies dari hewan liar yang tidak diketahui pemiliknya atau terjadi wabah dilokasi setempat.

Di Negara kita, khususnya di Flores-Lembata, sebagian besar virus rabies ditularkan melalui gigitan anjing yang mengandung virus rabies dalam air liurnya. Sebetulnya virus rabies sendiri tidak dapat menembus kulit yang utuh dan sehat. Jilatan hewan yang mengidap virus rabies dapat berbahaya jika kulit terluka atau tidak utuh. Virus rabies dapat pula memasuki badan melalui selaput mukosa yang utuh, seperti selaput mata, mulut, dubur, alat kemaluan. Hewan juga dapat terinfeksi lewat makanan yang tercemar virus tersebut. Tetapi pada manusia belum ada konfirmasi tentang penularan melalui makanan. Penularan antar manusia dapat terjadi melalui operasi transplantasi organ dimana organ donor terpapar virus rabies, juga dilaporkan adanya kasus penularan melalui gigitan manusia antar manusia. Cara infeksi lain adalah oleh karena pemberian vaksin Rabies yang masih mengandung virus yang belum mati, ini pernah terjadi di Brazil, sekitar tahun 1960-an.

Virus rabies akan masuk ke dalam tubuh melalui luka pada tubuh kita, dan akan tetap tinggal pada tempat masuk atau didekatnya dalam beberapa waktu tergantung keganasan dan jumlah virus yang masuk, serta letak luka atau gigitan. Kemudian virus akan bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan fungsinya. Ini disebut sebagai masa inkubasi, yaitu masa virus membutuhkan waktu untuk menampilkan gejala penyakit rabies tersebut. Selama masa inkubasi, penderita tidak menunjukkan gejala apapun. Bisa jadi gejala muncul dua hari kemudian atau satu tahun kedepan. Pada 95% kasus didapati masa inkubasi antara 2 hingga 4 minggu. Pada 1% kasus, gejala penyakit rabies timbul setelah terinfeksi selama kurun waktu 1 hingga 7 tahun setelah digigit anjing pengidap virus rabies.

Gejala penyakit rabies ini dibagi dalam 3 fase. Pertama, fase prodromal/akut, fasedimana gejala mulai timbul, berlangsung selama 2 hingga 7 hari, dengan keluhan panas, adanya kelumpuhan atau mati rasa maupun denyutan saraf yang dirasa pada daerah sekitar lokasi gigitan, selain itu korban merasa cemas dan depresi sebagai akibatnya. Kedua, fase neurologic/encephalitic, fase dimana virus sudah berinfestasi pada susunan saraf pusat, penderita tampak takut terhadap air, udara, maupun cahaya; sehingga korban cenderung mencari tempat yang gelap. Ketiga, fase koma hingga menimbulkan kematian, terjadi ketidakstabilan salah satu sistim saraf yang fatal, terjadi depresi nafas hingga gagal nafas, tekanan darah tidak stabil, terjadi gangguan irama jantung hingga jantung berhenti berdenyut dan korban meninggal.

LEBIH BAIK MENCEGAH DARI PADA MENGOBATI

Pada kasus rabies di negara kita, khususnya di Flores-Lembata, jelas bahwa anjing memegang peranan sangat penting sebagai hewan penular. Sementara, untuk dapat mengenal apakah seekor anjing sudah tertular rabies atau belum, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan.  Dikatakan anjing sudah tertular rabies jika takut terhadap cahaya, suara atau bunyi-bunyian dan takut terhadap air serta menggigit semua yang ada disekitarnya. Tetapi hal tersebut tidak selalu didapati pada semua anjing yang tertular rabies. Deteksi secara pasti hanya dapat dilakukan dengan mengambil jaringan otak hewan tersebut.

Karena (1) untuk mengenali apakah seekor anjing sudah tertular rabies tidak mudah dan (2) adanya masa inkubasi yang tidak menampakkan gejala, membuat banyak orang tidak segera datang berobat setelah digigit anjing. Mereka menganggap (baca: berharap) anjing yang menggigit mereka belum tertular rabies dan ini didukung dari tidak adanya gejala yang serius pada dirinya, padahal bisa saja gejala yang belum muncul itu karena mereka masih dalam masa inkubasi. Ketidaktahuan ini menyebabkan mereka datang berobat jika sudah bergejala dan biasanya sudah terlambat, dimana virus telah berinvestasi pada susunan saraf pusat, dan berakibat fatal. Jika sudah demikian, maka pertolongan apapun hasilnya tidak akan menggembirakan. Hasilnya akan sama, kematian.

Jadi untuk memberikan pengobatan penderita rabies, apalagi jika datang dalam keadaan sudah parah, tidak semudah yang kita bayangkan. Selain tidak mudah, ternyata pengobatan rabies juga sangat mahal. Mahalnya pengobatan rabies bisa kita ketahui secara sederhana dari berita di berbagai media massa akan kelangkaan vaksin rabies setiap kali ada korban gigitan anjing di wilayah Flores dan Lembata. Pemerintah tidak sanggup secara berkesinambungan untuk menyediakan vaksin rabies.

Melihat permasalahan pengobatan yang sangat pelik, sangat bijaksana jika kita sebaiknya lebih fokus ke upaya pencegahan. Bagaimana caranya? Jangan sampai tergigit anjing rabies. Sesuatu yang sangat sederhana kelihatannya tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan mengingat kebiasaan saudara-saudara kita dalam memelihara anjing selama ini.

PERLU UPAYA PENEGAKKAN HUKUM UNTUK MEMBERANTAS RABIES

Langkah pertama untuk menyukseskan program pencegahan, setiap pemilik anjing dilarang melepas anjingnya tanpa kendali. Silahkan mengajak anjing jalan-jalan, tapi harus didampingi. Kalau tidak mau didampingi, harap diberi penutup moncong supaya tidak bisa menggigit. Kalau tidak mau mendampingi dan tidak mau memasang penutup moncong, biarkan anjing tersebut berada di rumah saja.

Langkah kedua, semua pemilik anjing harus memvaksin anjingnya tanpa terkecuali. Kalau tidak mau memvaksin, disarankan untuk tidak memelihara anjing.

Apakah warga masyarakat akan mau mengikuti himbauan ini? Perilaku seseorang yang melahirkan suatu keputusan termasuk wilayah hak pribadi. Namun bila keputusan yang orang ambil membahayakan diri sendiri, menjadi tugas pemerintah untuk ikut campur, untuk membuatnya lebih aman. Perilaku tidak memakai helm atau sabuk pengaman, misalnya. Kendati perilaku salah itu tidak membahayakan orang lain, pemerintah tetap perlu mewajibkannya. Terlebih apabila perilaku perorangan sampai melanggar kesejahteraan orang lain. Misalnya, seseorang yang tidak mau menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya dari sarang nyamuk sehingga berakibat tetangganya terjangkit demam berdarah. Jika himbauan tidak cukup maka hukum memang harus bicara. 

Potensi masyarakat berprilaku sehat perlu digalang untuk membangun tanggung jawab umum terhadap kesejahteraan orang lain. Upaya menjadikan suatu wilayah ’bebas rabies’ akan sia-sia bila masih ada tetangga yang tidak ikut program vaksinasi anjingnya. 

Di satu sisi, sebagian masyarakat memang mempunyai kesadaran yang rendah (maaf, kalau penilaian saya salah) untuk secara aktif melakukan pencegahan terjadinya wabah rabies, seperti juga masyarakat mempunyai kesadaran rendah untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, atau mematuhi peraturan dan etika berlalu lintas di jalan raya.  

Di sisi lain, pemerintah seharusnya menyadari sikap disiplin masyarakat yang rendah sehingga tidak menyandarkan pada upaya himbauan atau penerangan melalui iklan radio dan koran semata. Jangan puas kalau hanya sudah melakukan himbauan atau penyuluhan tentang rabies. Jika kemudian himbauan atau penyuluhan tersebut tidak dipatuhi masyarakat, maka yang disalahkan masyarakat. 

Dalam situasi disiplin dan kesadaran masyarakat yang rendah, seharusnya ada upaya yang lebih aktif, termasuk penegakan hukum dari pihak pemerintah. Penegakkan hukum tidak hanya terhadap masyarakat yang melanggar; tetapi juga terhadap pejabat pemerintah sendiri yang sering membiarkan pelanggaran terjadi atau bahkan ikut melakukan pelanggaran. 

Jadi, untuk mewujudkan ’NTT bebas rabies’ diperlukan upaya pemberantasan rabies yang terkonsep, terencana, dan dilaksanakan secara sistematik dengan melibatkan masyarakat dan kerja sama berbagai instansi terkait. Upaya pencegahan yang diutamakan, bukan pengobatan. Untuk suksesnya upaya pencegahan perlu dilakukan penyuluhan dan himbauan seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat, jika himbauan tidak cukup maka hukum memang harus bicara. Jangan kita menunggu orang tergigit anjing rabies, baru kita kebingungan untuk mengupayakan pengobatan dan vaksin gratis. Berapa rekening yang harus dibayar setiap kali ada KLB rabies? Kenapa biaya yang digunakan untuk pengobatan tersebut tidak kita alokasikan untuk upaya pencegahan, misalnya vaksinasi anjing?  Selama tidak ada upaya pemberantasan rabies yang terkonsep, terencana, dan dilaksanakan secara sistematik, generasi yang akan datang agaknya akan terus dihantui dengan ’kematian sia-sia’ dan belum akan selesai mengeluarkan ongkos untuk biaya sosial yang sebetulnya tidak perlu. Belum cukupkah kita belajar dari kematian 120 saudara kita selama ini? Butuh berapa korban nyawa lagi agar kita lebih serius menangani rabies di propinsi NTT?. 


* Dokter Spesialis Penyakit Dalam, bertugas di RSUD dr. TC Hillers-Maumere




El Tari Memorial Cup XXVII, Foto Pertandingan Perseftim Melawan Lembata

El Tari Memorial Cup XXVII, Foto Pertandingan Persena Melawan Persamba

El Tari Memorial Cup XXVII, Line Up Pemain Perseftim dan Persebata

El Tari Memorial Cup XXVII, Line Up Pemain Persena dan Persemba

Permainan Keras Persena dan Persamba Membuat Polisi Masuk ke Lapangan

$
0
0

El Tari Memorial Cup XXVII

MAUMERE, FLORES KITA - Pertandingan partai kedua antara kesebelasan Persena Nagekeo berhadapan dengan Persemba Manggarai Barat, Rabu ( 28/10/15 ) berlangsung keras, Tercatat 5 kali terjadi insden adu mulut dan aksi dorong serta protes pemain Nagekeo terhadap wasit. Aparat kepolisian Polres Sikka berpakaian lengkap pun terpaksa masuk ek alapangan dipertengahan babak kedua,guna melerai para pemain yang hendak terlibat baku pukul.

Nagakeo yang turun kali ini mengenakan kostum orange –range sementara Persemba, Manggarai Barat  berkostum hijau garis hitam.Jelang turun minum, sebuah tendagan keras dari Fransisikus yang mengenakan nomor punggung 16 masih melayang di atas gawang Nagekeo yang di jaga Yohanes Lema.Tercacat gawang Nagaeko pun sempat terancam beberapa kali namun tendangan pemain yang diasuh pelatih Agustinus Tandur.

Wasit Malsem Boto asalRote Ndao beberapa kali mencabut kartu kuning dan memberikannya kepada pemain dari kedua team.Bagkan jelang pertandingan babak pertama usai, pemain Persamba Hardani sempat ditanduk pemain Nagekeo Paulus Wero.Untung wasit tidak melihat insiden ini dan hanya memberikan teguran kepada kedua pemain.

Memasuki babak kedua, serangan dari Persamba kian gencar dilakukan, Peregarakan Hardani, Fransiskus S serta Didi Haryadi ditopang Edward Togo yang rutin memberikan umpan – umpan matang membuat kelabakan pemain belakang Persena yang dikordinir Hendrianus Tai dan Hidayat Mahmud.Beberapa kali pemain Persamba harus dijatuhkan di luar kotak pinalti. Pergerakan yang dibangun anak – anak asuhan Agustinus Tandur sangat gencar namun hingga wasit Bone Djemadut asal Manggarai meniupkan peluit panjang, tak satupun gol yang tercipta..


Dengan hasil ini, Ngada masih memimpin pool 4 dengan rtirehan 6 angka hasil kemenangan atas Nagekeo dan Rote Ndao sementara Manggarai Barat mengoleksi poin 4 dan menempati peringkat kedua. Rote Ndao dan Nagekeo akan bertemu di laga terakhir sementara Ngada akan meladeni tantangan Manggarai Barat. ( ebd )

Penulis : Ebed de Rosary                               Email : ebedallan@gmail.com

Wartawan : Media NTT, Flores Kita.Com, Tiro News dan Ombudsman Indonesia serta kontributor beberapa media nasional dan asing. Tinggal di Maumere, Flores -NTT

Empat Gol Rahman dan Supriyono Buka Peluang Perseftim Berlaga di Babak Delapan Besar

$
0
0

El Tari Memorial Cup XXVII

MAUMERE, FLORES KITA – Empat buah gol yang dilesakkan Rahman Abubakar dan Supriyono menghantarkan Perseftim  Flores Timur menang atas kesebelasan Persebata Lembata dalam laga penyisihan gorup pool 3. Perseftim yang turun dengan kostum biru-biru sejak wasit Antonius Sumadji asal Kupang meniupkan peluit, terlihat mulai menekan pertahanan Persebata.

Saat pertandingan memasuki menitke 15, sebuah umpancrossing dari pojok kanan gawang Persebata meluncur bebeas kekotakpinakti tanpa ada pemain Perseftim yang menyongong bola. Memqasuki menit ke 20, kerja sama yang dibangun antara Rahman Abibakar dan Saifudin Shokib hampir berbuah gol. Sayanganya sebuah tendangan keras dari Rahman masih bisa ditepis Lasarus Langoday, penjaga gawang persebata.

Selamng beberapa menit saja, bola  tendangan dari Mifthaul Huda dan Saigudin Shokib masih melayang beberapa sentimeter di atas tiang gawang Persebata.Sebuah umpan lambung dari Rahman Abubakar pemain Perseftim  dengan nomor punggung 7 dari sudut kanan gawang Persebata tepat mengarah ke kotak pinalti dan jatuh ke kaki Eko Supriyanto. Eko berdiri bebas tanpa pengawalan, namun sepakan kaki kananya tidak mengenai bola.

Persebata pun mencoba mengimbangi permainan anak – anak Perseftim. Kesebelasan berkostum hitam garis putih ini pun mencoba mendobrakbenteng pertahanan Perseftim lewat pergerakan pemain mungil yang mengenakan nomor punggung 10, Wilibaldus Liak. Namun beberapa kali umpannya ke dalam kotak pinalti selalu dihalau bek Perseftim.

Memasuki babak kedua, pelatih Lembata Simon Langoday merubah taktik permainan. Simon langsung memasukan dua pemain sekaligus untuk menambah daya dobrak.Namun sayang, lemahnya benteng pertahanan Persebata membuat Rahman yang mendpat bola di dalam kotak penalti menggirngnya melewati beberapa pemain dan mencepolskan bola di menit ke 52.

Ishak Hormu, pelatih Perseftim pun segera mengisntruksikan pemainnya untuk gencar menyerang. Pelanggaran yang dilakukan bek persebata di luar kotak pinalti membuka peluang Perseftim menambah keunggulan.Eksekusi bola mati oleh Supriyono di menit 57 membuat Persebata terdiam.Tendangan Supriyono melengkung dan bersarang di pojok kanan atas gawang Persebata.

Persebata pun kembali membangun serangan cepat, Namun keasyikan menyerang menyebabkan Rahman, Supriyono,  Eko Supriyanto, dan Sabon dengan mudah masuk ke areal pertahanan lawan memanfaatkan bola muntah, Bek Persebata pun kembali menjatuhkan pemain Perseftim di luar kotak pinalti.

Kembali tendangan bebas di menit ke 76 yang dieksekusi Supriyono pemain bernomor punggung 6 bersarang di pojok kanan gawang Persebata. Dua menit menjelang waktu normal berakhir, Rahman kembali membuat suporter Flotim bersorak, Gocekan mautnya melewati bek dan kiper membuat dirinya dengan mudah menceploskan bola ke gawang yang kosong.


Dengan kemenangan ini, Perseftim mengumpulkan nilai 3 sama dengan Persap Alor hasil sekali kemenangan. Satu wakil di pool 3 ditentukan saat pertandingan terakhir keduanya hari Sabtu nanti, 31 Oktober 2015 jam 16.00 wita.Sementara itu pertandingan PSK kota Kupangmelawan Persebata Lembata tidak berpengaruh besar bagi PSK sebab mereka sudah dipastikan lolos berkat dua kemenangan yang diraih. ( ebd )

Penulis : Ebed de Rosary                               Email : ebedallan@gmail.com

Wartawan : Media NTT, Flores Kita.Com, Tiro News dan Ombudsman Indonesia serta kontributor beberapa media nasional dan asing. Tinggal di Maumere, Flores -NTT

Meraup Untung Dari Turnamen EL Tari Memorial Cup

$
0
0

Sisi lai El Tari Memorial Cup XXVII

SEBUAH turnamen sepakbola sedang berlangsung di Maumere.Event olahraga favorit di propinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT ) ini merupakan adu genngsi dan pertarungan mendebarkan yang selalu di tunggu penonton.Siapa yang keluar sebagai juara akan merasakan kebanggaan sebab bisa memboyong piala El Tari Memorial Cup ke wilayahnya.

Biasanya sang pemenang sudah dinantikan masyarakat di wilayahnya usai perhelatan dan team disambut bak raja serta diarak keliling kota. Penjemputan team baik di bandara maupun di perbatasan wilayah kabupaten kota bila menggunakan mobil, dilakukan semarak. Ratusan kendaraan roda dua dan roda empat dikerhakn.Pesta semalam suntuk pun digelar.

Pagelaran turnamen El Tari Memorial Cup yang diadakan dua tahun sekali di bumi Flobamorata bukan saja memberikan sebuah suguhan pertandingan sepak bola dan euforia para suporter saat kesebelasan kebanggaan mereka lolos namun mendatangkan rejeki bagi masyarakat kecil.

Efek turnamen El Tari Memorial Cup ( ETMC) ke XXVII yang diselenggarakan di Maumere sejak 20 Oktober hingga 13 November 2015 ini dirasakan Jhon, salah seorang penjual es krim. Saat disambangi media Flores Kita, Jhon yang tak bersedia menyebutkan nama lengkapnya merasa bersyukur sebab tahun 2015 event ini diadakan di Maumere.

Sejak pukul 13,30 wita dirinya wajib berada di stadion Gelora Samador satu-satunya tempat pertandingan di event ini.Dengan gerobak mini beroda dua, dirinya setia menanti pembeli es krim miliknya. Sebuah es krim dihargai seribu rupiah.Dalam 4 jam saja dirinya bisa mendapatkan pemasukan 300 ribu rupiah.

“ Kalau laku 300 ribu rupiah saya bisa dapat untung 150 ribu rupiah. Sangat lumayan sebab uangnya bisa dipakai untuk modal dan kebutuhan keluarga lainnya “ ujarnya berapi – api.

Jika tidak ada turnamen ini, dirinya terbiasa mendorong gerobak menjajakan es krim buatannya sendiri di beberapa penjuru kota Maumere. Sejak keluar dari rumah pukul 09.00 wita, Jhon mengatakan dirinya mangkal terlebih dahulu di areal pertokoan Maumere dan menunggu waktu dimulainya pertandingan sepak bola.

Sebelm jam 14.00 wita dirinya harus sudah ada di Gelora Samador karena pertandingan partai pertama berlangsung jam 13.45 wita sementara partai kedua berlangsung pukul 16.00 wita dan berakhir sekitar pukul 16.00 wita.

Usai oertandingan, dirinya pun bergegas kembali ke rumah karena harus mempersiapkan bahan – bahan untuk mengolah es krim dan melepas penat sebentar usai santap malam. Sesudahnya dia tidur dan sebelum subuh harus bangun untuk mengolah es krim.

Jika tidak ada event ini sebut Jhon, paling banter dalam sehari dia bisa meraup pemasukan sebanyak 200 ribu rupiah.Dirinya bersykur sebab dengan rentang waktu penyelenggaran pertandingan yang mendekati sebulan dia bisa terus berjualan di stadion tanpa capek menguras tenaga mendorong gerobak keliling kota Maumere.

“ Paling setelahkeluar rumah jam 9 pagi saya nongkrong di pertokoan dulu. Kalau sudah jam satu siang baru bersiap ke lapangan yang cuma berjarak sekitar 500 meter saja “ ungkapnya.

Ayah dua anak yang masih balita inimengatakan, ilmu mengolah es krim didapatnya saat berjaulan es krim milik seorang perantau asal Jawa. Selama 5 tahunbekerja, dirinya belajar cara mengolah es krim hingga mahir dan memberanikan mengundurkan diri tahun 2014. Dengan bekal modal yang dikumpulkan, dirinya membeli sebuah gerobak dan mulai meracik es krim buatan sendiri untuk dicicipi pembeli.

“ Kalau es krinya saya buatsendrii cuma kap ( wadah menaruh es krim ) nya saja yang saya beli karena belum bisa membuatnya sendiri. Saya juga sendirian jadi tidak punya waktu untuk membuatnya  “ tuturnya.

Penulis dan seorang teman wartawan diminta mencicipi es krim miliknya secara gratis. Jika dilihat, dengan uang seribu rupiah, es krim yang dibeli rasanya pun lumayan enak.Saat ditanyai apakah dirinya membayar tiket masuk dan dipungut biaya lainnya, Jhon mengatakan dirinya hanya membeli karcis masuk seharga 5 ribu rupiah sekali masuk.Kalau hanya bayar 5 ribu rupiah bagi Jhon tidak terlalu berat sebab dirinya bisa meraup keuntungan besar.

Saat ditanyai kesebelasan dari daerah mana yang dijagokannya untuk berlaga di final turnamen ini, Jhon dengan lantang menjawab PSN Ngada dan PSk Kota Kupang.Tai baginya, siapapun yang menang tentunya harus benar – benar bermain bagus dan layak jadi juara bukan direkayasa.

Penulis : Ebed de Rosary

Penulis : Ebed de Rosary                               Email : ebedallan@gmail.com

Wartawan : Media NTT, Flores Kita.Com, Tiro News dan Ombudsman Indonesia serta kontributor beberapa media nasional dan asing. Tinggal di Maumere, Flores -NTT


Foto Pertandingan Persedaya SBd Melawan Persewa Sumba Timur pada El Tari Memorial Cup XXVII

Foto Pertandingan Persami Sikka Melawan Perse Ende pada El Tari Memorial Cup XXVII

Maumere Terpilih Menjadi Kota Pertama di NTT Yang Menjual Pertalite

$
0
0
MAUMERE, KABAR NTT-  Seperti produk Pertamax yang diluncurkan dan dipasarkan pertama di kota Maumere, untuk daratan Flores, peluncuran sekaligus uji pasar produk Pertalite milik Pertamina pun kembali dilaksanakan di kota Maumere untuk wilayah NTT. Mengambil tempat di SPBU Waipare, Rabu ( 23/12/2015 ) Pertamina NTT kembali melakukan peluncuran produk bahan bakar produksi perusahannya Pertalite dengan Oktan 90.

Produk Pertalite seperti dijelaskan Branch Manager Pertamina NTT, HardiyantoTato saat sesi talk show menjawab pertanyaan wartawan, selain memilik harga terjangkau juga kwalitasnya lebih baik dibandingkan Premium atau bensin.Kendaaraan jaman sekarang sebut Tao, selain dituntut irit bahan bakar, mesinlebih  kecil dan tenaganya besar. Efek dari perubahan teknologi ini juga kata Tato otomatis merubah spesifikasi kebutuhan bahan bakarnya. Tentu mereka lanjtnya, membutuhkan bahan bakar yang memiliki angka oktan tinggi.

“ Selama ini belum kebutuhan mereka blum terpenuhi dengan premium dan hanya ada pertamax oleh karena itu kami meluncurkan Pertalite yang angka oktannya lebih tinggi dari premium yang di diperuntukan bagi kendaraan dengan teknologi terbaru yang melintas di jalan “ ujarnya.

Pertalite, papar Tato, memiliki aditif yang tidak dimiliki premium, dimana dia ada adiktif detergensi untuk membersihkan, aditif untuk memisahkan kalau ada pengembunan air di bahan bakar juga ada anti karatnya yang bisa merawat mesin. Memakai Pertalite promosi Tato bisa membuat kendaraan melaju lebih jauh, tenaga lebih besar, mesin lebih awet,juga lebih ramah lingkungan karena efek aditifnya menyebabkan pembakaran lebih sempurna dan menghasilkan  emisinya yang lebih sedikit.


Lihat Buku Manual

Maumere jelas Tato menjadi kota pertama di NTT yang dipilih untuk menjual produk Pertalite sebab Pertamina melihat pasar di Maumere cukup bagus dan ketersedian depot terminal BBM Maumere yang paling siap. Sementara untuk daratan Timor, ungkap Tato, direncanakan akan diluncurkan pada pertengahan tahun 2016.

Untuk program promosi sambung Tato, akan dilaksanakan 1 Januari 2016 dimana setiap pembelian produk Pertalite akan mendapat voucher untuk pembelian berikutnya dan berlaku selama 15 hari. Dalam waktu dekat lanjutnya, akan ada 6 SPBU di Flores yakni didahului oleh Maumere dengan tiga SPBU menyusul Ende,Bajawa dan Ruteng dengan masing – masing satu SPBU.Jika premium di jualn dnegan harga 7.300 maka Pertalite di jual dengan harga 8.250 per liter.

“ Selain menyesuaikan dengan kebutuhan kendaraan bemotor, kita juga ingin membuat kota - kota di wilayah NTT lebih bersih karena dengan memakai Pertalite, emsii berkurang sehingga  turis juga merasa lebih nyaman karena kota tidak dipenuhi asap kendaraan “ paparnya.

Jika dilihat lanjut Tato, semakin tinggi angka oktannya maka semakin berkwalitas produknya,Pertamina memiliki  Premium atau bensin dengan angka oktan 88, Pertalite 90,Pertamax 92 dan awal tahun 2016 ada Pertamax Plus Ron 95 dan Pertamax Racing 100. Setiap kendaraan mempergunakan bahan bakar dengan oktan berbeda - beda. Jadi jika ingin mengetahui kendaraannya  memakai bahan bakar yang mana, maka pesan Tato harus melihat di buku panduan manual di setiap kendaraan sehingga bisa disesuaikan.

“ Hasil pengujian yang kita lakukan, Pertamax lebih irit dari Pertalite dan Pertalite lebih irit dari Premium. Kita tidak menghilangkan Premium tapi meluncurkan produk lain yang harganya terjangkau dan disesuaikan dengan kebuuhan mesin kendaraan terbaru. Masyarakat yang ingin membeli mobil terbaru pun tidak usah kwatir karena bahan bakarnya  sudah tersedia di Flores “ bebernya.

Peluang Menjadi Penyalur

Menjawab kritik wartawan terkait pengendara membutuhkan waktu lama untuk antri membeli BBM, Tato mengatakan, pertaminan juga berusaha meningkatkan pelayanan dengan berusaha menambah SPBU sehingga BBM tidak terpusat pada beberapa SPBU. Pemerintah pusat pun beber Tato, sudah mengeluarkan kebijakan dengan membentuk sub penyalur yang merupakan kepanjangan tangan dari SPBU. Bagi masyarakat yang ingin menjadi sub penyalur jelas Tato, harus meminta rekomedasi kepada lurah atau kepala desa dan meminta ijin ke pemda setempat sehingga mendapatkan berapa alokasi yang bisa dijualnya.

Harga penjualan BBM nya sambung Tato, tentu disesuaikan dengan harga eceran tertinggi di daerah tersebut. Pertamina memiliki keterbatasan mobil tangki dan hampir semua wilayah di NTT sebutnya, banyak jalannya yang masih susah dilewati mobil tangki. Pengusaha SPBU juga lanjut terang Tato, tentu harus mengeluarkan banyak uang dalam membangun depot baru atau membeli tangki oenimbun. Adanya kebijakan sub penyalur ini harap Tato, bisa mengurangi jumlah antrian di SPBU dan tidak ada lagi penjualan BBM secara ilegal yang banyak dijumpai di pinggir jalan.

Nitisusanto dari Hiswana NTT mengatakan,hadirnya Pertalite di Maumere ini menjadi sesuatu yang patut dibanggakan karena Maumere menjadi satu - satunya pasar yang ada diNTTuntuk diujicoba. Kota Kupang yang lebih ramai tapi yang dipilih Maumere, jadi masyarakat Maumere harus bangga. Dengan uji pasar ini dan kalau sudah berjalan bagus maka kata Nitisusanto, yang lain juga akan menjualnya, Respon lembaga penyaur sambungnya,  sangat positif karena perbedaan harga produknya dengan Premium tidak terlalu jauh dan kwalitasnya lebih bagus sehingga pemeliharaan kendaraan juga lebih terjamin.

Alfonsus Naga sekertaris camat Kangae dan serta Yaski mahasiswa yang yang selama dua hari ini menggunakan bahan bakar Pertalite mengaku,saat memakai Pertalite mesin lebih ringan, tarikan lebih bagus dan juga lebih irit. Soal harga keduanya mengaku tidak terlalu mahal dan masih terjangkau. Keduanya pun meski baru dua hari mempergunakan Pertalite, sudah merasakan ada perubahandi mesin kendaraan dimana tarikannya lebih enteng. ( Ebed )
Viewing all 339 articles
Browse latest View live